JAKARTA – Kematian pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh di Teheran, Iran pada Rabu, 31 Juli semakin meningkatkan ketegangan di kawasan dan kemarahan dari faksi Palestina tersebut di tengah perang yang berkecamuk di Gaza. Kematian Haniyeh, yang telah memimpin Hamas sejak 2017, berpotensi mengubah arah dan masa depan kelompok Palestina tersebut.
Haniyeh tewas dalam serangan menjelang fajar di tempatnya menginap di Teheran saat ia sedang melawat untuk upacara pelantikan Presiden Masoud Pezeshkian. Israel dianggap bertanggung jawab atas kematian Haniyeh, meski negara Zionis itu tidak secara resmi mengakuinya.
Tewasnya Haniyeh juga secara efektif “membunuh” pembicaraan gencatan senjata yang berlangsung antara Hamas dengan Israel di Doha, Qatar.
“Kita mungkin harus mengucapkan selamat tinggal pada gencatan senjata untuk saat ini karena ini dapat meningkat menjadi perang regional,” kata Abas Aslani, seorang peneliti di Pusat Studi Strategis Timur Tengah di Teheran.
“PM Israel berusaha melakukan segala cara untuk memperpanjang kehidupan politiknya. Ia ingin melanjutkan perang (di Gaza), dan saya pikir ini dimaksudkan tidak hanya untuk memengaruhi proses di Teheran dan kawasan tersebut, tetapi juga di Washington.”
Setelah pemakaman Haniyeh di Qatar, Hamas kini perlu untuk segera menemukan penggantinya untuk mengisi posisi Kepala Biro Politik yang kosong. Beberapa nama telah muncul sebagai pengganti potensial Haniyeh.
Salah satu pertimbangan adalah pimpinan Hamas selanjutnya harus memiliki komitmen yang tegas bagi perjuangan kemeredekaan Palestina, termasuk dengan cara mengangkat senjata. Hal ini menjadi kriteria penting terlepas dari adanya beberapa bagian pragmatis dari Hamas, yang menyatakan kesediaan untuk mengakui hak keberadaan Israel.