JAKARTA - Pakar Hukum Prof Amir Ilyas menyebut penetapan tersangka Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tepat. Ia menilai Hasto tidak terlibat dalam perkara suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
Hal itu disampaikan Prof Amir Ilyas usai menggelar Forum Focused Group Discussion (FGD) dan eksaminasi bersama dengan pakar hukum lainnya dalam rangka untuk meninjau penetapan Hasto Kristiyanto. Berdasarkan peninjauan laporan pengembangan penyidikan, kata Amir, tidak ditemukan keterlibatan Hasto dalam perkara tersebut.
"Dalam putusan yang dikaji itu, Bapak Hasto itu sebetulnya tidak terlibat sama sekali dalam delik aduan. Itu kan suap ya, ada Harun Nasiku yang DPO, kan? Ada, Saiful Bahri, ada Wahyu Setiawan, kemudian Agustiani Tio Fridelina," kata Amir saat menghadiri FGD yang digelar Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim, Semarang bersama dengan Firlmy Law Firm, Yogyakarta, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (4/2/2025).
"Artinya kalau kemudian pengembangan perkara berdasarkan putusan itu Pak Hasto jadi tersangka, itu dari kajian kami itu tidak tepat," sambungnya.
Berdasarkan uraian FGD tersebut menghasilkan beberapa poin kesimpulan. Pertama, seharusnya laporan pengembangan penyidikan/perkara tidak bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah inkracht, karena proses pengembangan dilakukan untuk mengungkap fakta baru yang belum diperiksa dalam persidangan sebelumnya.
Namun, jika pengembangan penyidikan dilakukan dengan mengabaikan pertimbangan hakim dalam putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau mengaitkan seseorang yang sebelumnya dinyatakan tidak terlibat, maka laporan tersebut berpotensi melanggar prinsip kepastian hukum dan dapat dipersoalkan dalam praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Kedua, dalam beberapa putusan pengadilan atas Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri tersebut, majelis hakim telah menyimpulkan terbukti ada kerja sama yang erat antara terdakwa Saeful Bahri, Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, Harun Masiku dan Donny Tri Istiqomah, sehingga perbuatan tersebut telah selesai dengan sempurna.
Dalam putusan tersebut tidak ada perintah hakim atau pertimbangan yang menunjukkan keterlibatan Hasto dalam tindak pidana suap.
Selain itu, hasil FGD para pakar tersebut juga mengkaji tentang status hukum penggunaan alat bukti yang diperoleh berdasarkan dari Sprindik atas nama tersangka lain untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka.
Hasil FGD menyimpulkan suatu penetapan tersangka untuk dikatakan sebagai alat bukti yang sah, maka cara mendapatkan alat bukti tersebut juga harus melalui prosedur yang sah juga.
Dalam kasus Hasto, maka apabila dalam penetapan sebagai tersangka didasarkan pada alat bukti lain yang diperoleh sebelum Sekjen PDIP itu ditetapkan sebagai tersangka yang didasarkan pada Sprindik atas nama tersangka lain, maka secara mutatis mutandis, status alat bukti tersebut menjadi tidak sah pula. Sebagaimana telah termuat dalam pertimbangan Hakim dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.prap/2017/PN.Jkt.sel (Perkara Setya Novanto vs KPK Jilid I).
Tentunya alat bukti yang sah dalam penetapan tersangka Hasto haruslah alat bukti yang diperoleh melalui pemeriksaan ulangan atau yang ditujukan khusus untuk Perkara Dugaan Tindak Pidana Suap dan Tindak Pidana Perintangan Penyidikan terhadap saksi-saksi maupun ahli termasuk alat bukti surat yang dilakukan penyitaan kembali yang semuanya harus didasarkan pada surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik.153/DIK.00/01/12/2024, tertanggal 23 Desember 2024 dan Sprin.Dik/152/DIK.00/01/2024, tertanggal 23 Desember 2024.
Apabila alat bukti diperoleh tanpa dasar Sprindik tersebut atau berdasarkan Spindik tersangka lain, maka status penggunaannya menjadi tidak sah pula.
Para pakar juga mengkaji kewenangan pimpinan KPK pascaperubahan UU KPK No.19 Tahun 2019. Pimpinan KPK itu tidak lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.
Para pakar melihat setelah dihapuskan kewenangan pimpinan KPK sebagai Penyidik sehingga penerbitan sprindik dan SPDP itu menjadi problematik. Sebagai suatu keputusan, sprindik dan SPDP itu harus dibuat sesuai syarat formal dan syarat materiil.
Berdasarkan Peraturan KPK RI No. 04 Tahun 2016 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan KPK, format sprindik dan SPDP telah ditentukan termasuk siapa yang harus menandatangani, yakni pejabat yang berwenang. Menurut ketentuan Peraturan KPK No. 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, Direktorat Penyidikan itu berada di bawah Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, dan Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi berada di bawah Pimpinan KPK.
Sehubungan berdasarkan Pasal 21 UU No. 19 Tahun 2019 Pimpinan KPK tidak lagi memiliki kewenangan penyidikan, atau tidak lagi sebagai penyidik, Pimpinan KPK tidak berwenang menandatangani sprindik dan SPDP.
Deputi Penindakan dan Eksekusi atau Direktur Penyidikan juga tidak dapat menandatangani sprindik dan SPDP untuk dan/atas nama Pimpinan KPK. Ditegaskan lagi bahwa tidak ada pendelegasian wewenang dan pemberian mandat oleh pejabat yang tidak berwenang.
(Khafid Mardiyansyah)