Meski angka keberhasilan mencapai 99,99%, laporan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan terjadi 17 Kejadian Luar Biasa yang tersebar di 10 provinsi sejak program ini dimulai pada 6 Januari 2025, dengan penyebab utama makanan basi atau kontaminasi mikroorganisme.
Sri Gusni menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap seluruh rantai pasok pengelolaan makanan dalam program MBG. Evaluasi harus mencakup pemilihan dan pengawasan bahan baku, penyimpanan, distribusi, hingga penyajian di lapangan.
Kompleksitas rantai pasok membutuhkan sistem kontrol yang terukur dan transparan, agar risiko kontaminasi dapat dicegah sedini mungkin.
“Setiap tahapan, dari dapur sampai ke meja makan anak-anak, harus dijamin keamanannya. Ini bukan sekadar urusan distribusi, ini soal perlindungan anak-anak kita,” papar alumni S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat dan S2 Intervensi Sosial, Psikologi Terapan Universitas Indonesia ini.
Untuk itu, Partai Perindo yang dikenal dengan Partai Kita, mendorong penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) sebagai pendekatan wajib dalam pengelolaan makanan MBG.
Sistem ini digunakan secara global untuk mengidentifikasi titik-titik kritis yang berpotensi menimbulkan bahaya biologis, kimia, maupun fisik dalam proses penyediaan makanan. Melalui HACCP, setiap proses pengolahan makanan dapat dikontrol, terdokumentasi, dan dimonitor secara berkelanjutan.
“Kita tidak bisa menunggu kejadian berikutnya untuk bergerak. Setiap tahapan, mulai dari dapur hingga meja makan, harus terjamin keamanannya. Kalau perlu, BPOM hadir di setiap rantai proses itu. Program MBG juga bukan sekadar soal distribusi makanan, ini tentang keselamatan anak-anak kita. Maka, penerapan HACCP adalah sebuah keharusan bukan pilihan,” imbuh Sri Gusni.