"Selain ada tadi pengaruh Bibit Siklon, dan fenomena-fenomena itu pun ternyata kalau waktu kita belajar awal tentang meteorologi itu, fenomena-fenomena itu saat itu diperkirakan yaitu kalau terjadinya musim hujan. Tapi ternyata saat musim kemarau pun, fenomena ekstrem itu pun terjadi,” ujar Dwikorita.
“Jadi tampaknya ada tren kejadian-kejadian itu yang harusnya tidak terjadi di musim kemarau atau di peralihan, jadi mulai fakta menunjukkan itu ternyata bisa terjadi. Kayak ada apa ya, sesuatu anomali gitu ya. Kita sendiri, terutama para pakar, sedang mengkaji,” tambahnya.
Dwikorita juga mengingatkan kembali fenomena Badai Tropis Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2021 sebagai contoh anomali cuaca yang tidak sesuai teori.
“Seperti kejadian Badai Tropis Seroja, itu harusnya tidak terjadi di lintang ekuator antara 10 derajat Lintang Selatan dan 10 derajat Lintang Utara. Teorinya itu badai tropis itu selalu bertindak apabila memasuki ekuator. Faktanya terjadi anomali, lahirnya itu di dalam ekuator, sehingga menjadi catatan kami adanya beberapa hal yang perlu kita waspadai meskipun itu masih di peralihan,” pungkasnya.
(Arief Setyadi )