Sempat pula Hoegeng ditangkap polisi Belanda dan karena pernah berteman dengan salah satu perwira Belanda, Hoegeng diperlakukan dengan baik. Bahkan, Hoegeng ditawari untuk membelot.
“Saya putra Indonesia, mustahil bagi saya bersikap lain!,” seru Hoegeng menolak rayuan Belanda, sebagaimana dikutip buku ‘Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa’.
Ketika Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda via Agresi Militer II, Hoegeng tetap bertahan di dalam kota. Meski tak ikut bergerilya, Hoegeng berperan aktif mengumpulkan informasi dan data intelijen dari dalam kota yang diperlukan TNI, di bawah komando Soekarno Djojonegoro.
Caranya jadi intel cukup unik, yakni menyamar sebagai pelayan di sebuah restoran yang sedianya, tak jauh dari rumahnya di Jalan Jetis, Yogyakarta. Pengalamannya itu sering kembali dilakoni, bahkan ketika sudah menjabat Kapolri jelang sidak ke berbagai tempat.
Tapi Jenderal Hoegeng tak sampai lima tahun menjabat Kapolri. Kedudukannya “dinistakan” dan dicopot Presiden Soeharto pada 2 Oktober 1971, sebagai bentuk “tamparan” sang Presiden pada Kapolri yang terlampau jujur dan tak bisa dibungkam dengan suap berbagai bentuk terhadap sejumlah kasus.