Sistem kerja paksa saat ini di tambang batu bara Korea Utara tampaknya dibuat setelah Perang Korea. Laporan NKHR menggambarkannya sebagai "perbudakan warisan".
Warga Korsel dibawa ke tambang batu bara, magnesit, seng, dan timah, yang sebagian besar terletak di Provinsi Hamgyeong Utara dan Selatan, menurut penyelidikan kelompok hak asasi manusia itu.
Tapi tidak semua orang yang berakhir di tambang adalah tawanan perang.
Kim Hye-sook diberitahu oleh penjaga bahwa kakeknya pergi ke Selatan selama perang dan itulah mengapa dia dikirim untuk bekerja di tambang batu bara bersama keluarganya saat remaja.
Nasibnya ditentukan oleh "songbun" - atau kelasnya, sebuah penilaian yang dibuat berdasarkan seberapa setia sebuah keluarga kepada rezim negara dan berapa banyak yang menjadi anggota Partai Pekerja Korea.
Koneksi ke Korsel otomatis menempatkan seseorang di kelas paling bawah.
Kim baru berusia 16 tahun ketika dia mulai bekerja di tambang. Laporan NKHR itu juga mengungkap kisah dari para penyintas yang mengatakan bahwa mereka mulai bekerja paruh waktu di tambang tersebut sejak usia tujuh tahun.
"Ketika saya pertama kali ditugaskan, ada 23 orang di unit saya," ingat Kim.
"Tapi tambang-tambang itu bisa runtuh dan kabel yang menarik troli tambang akan putus dan membunuh orang-orang di belakangnya,” ujarnya.
"Orang-orang juga ada yang mati karena ledakan saat menggali tambang. Ada lapisan-lapisan yang berbeda, di dalam tambang, tapi terkadang lapisan air akan meledak dan orang bisa tenggelam. Jadi pada akhirnya hanya enam yang masih hidup dari 23 yang pertama,” lanjutnya.