Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melarang ekspor batu bara Korut dalam upaya menghentikan pendanaan untuk program rudal nuklir dan balistiknya.
Tetapi dua tahun kemudian, sebuah laporan oleh pengawas-pengawas sanksi independen mengatakan bahwa Pyongyang telah memperoleh ratusan juta dolar "melalui ekspor jalur laut untuk komoditas ilegal, terutama batu bara dan pasir".
Pada bulan Desember, Amerika Serikat mengatakan Korea Utara terus "menghindari larangan PBB atas ekspor batu bara, sebuah penghasil pendapatan utama yang membantu mendanai program senjata pemusnah massal".
Laporan NKHR juga mengklaim jika tambang-tambang terus berkembang.
Wakil Direktur Joanna Hosaniak meminta PBB untuk menyelidiki sepenuhnya ketergantungan Korea Utara pada perbudakan dan kerja paksa termasuk "sejauh mana ekstraksi dan ekspor ilegal batu bara dan produk lainnya, dan rantai pasokan internasional yang terkait dengan ekspor ini".
"Ini juga harus ditegakkan melalui sistem peringatan yang jelas untuk bisnis dan konsumen,” terangnya.
Di Selatan, pemerintah berfokus pada keterlibatan dengan Pyongyang dan bahkan membahas kemungkinan ekonomi damai dengan Korea Utara. Seoul berargumen bahwa mengambil pendekatan yang lebih agresif pada hak asasi manusia akan membuat Pyongyang menjauh dari meja perundingan dan juga dapat menyebabkan peningkatan permusuhan.
Namun sebuah laporan oleh Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB di Seoul mengatakan sudah waktunya untuk "mengintegrasikan hak asasi manusia ke dalam perundingan perdamaian dan denuklirisasi" yang juga harus melibatkan masukan dari para pembelot Korea Utara.
Namun, bagi dua mantan tawanan perang yang dipaksa bekerja di tambang, masih ada harapan. Mereka memenangkan kasus hukum yang penting setelah Pengadilan Distrik Pusat Seoul memerintahkan Korea Utara dan pemimpinnya, Kim Jong-un, untuk membayar mereka USD17.600 (Rp247,9 juta) sebagai ganti rugi karena menahan mereka di luar keinginan mereka dan memaksa mereka untuk bekerja di tambang.
Ini adalah pertama kalinya pengadilan di Selatan mengakui penderitaan tawanan perang yang ditahan di Utara.
Choi adalah salah satunya.
"Saya tidak yakin saya akan melihat uang itu sebelum saya mati tetapi menang lebih penting daripada uang," terangnya.
Tapi pikirannya selalu kembali pada mereka yang bekerja keras di tambang saat dia menyajikanku sepiring buah yang dulunya merupakan kemewahan yang tak terpikirkan. Dia memberi tahu saya bahwa dia mencoba mengirim sejumlah uang kepada keluarganya di Utara.
"Saya memikirkan betapa mereka harus menderita sementara sekarang saya bahagia," ujarnya.
(Susi Susanti)