UKRAINA - Ukraina bukan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), meskipun aliansi keamanan internasional itu telah menjadi ‘pemain kunci’ dalam konflik yang sedang berlangsung dengan Rusia, yang akhirnya meningkat menjadi invasi skala penuh oleh pasukan Rusia sejak 24 Februari lalu.
Sejak Amerika Serikat (AS) membantu membentuk NATO pada 1949 untuk melawan agresi Soviet di Eropa, aliansi tersebut terus berkembang hingga memiliki 30 negara anggota. Termasuk tiga bekas republik Soviet yakni negara-negara Baltik Estonia, Latvia, dan Lituania.
Pada 2008, NATO tampaknya membuka pintu bagi keanggotaan dua bekas republik Soviet lagi ketika kepala pemerintahannya menyatakan bahwa Georgia dan Ukraina "akan menjadi anggota NATO." Namun tidak ada yang secara resmi menerima kedua negara itu menjadi anggota, dengan kekhawatiran korupsi dan kurangnya konsensus di antara anggota yang terlihat sebagian menahan diterimanya Ukraina.
Baca juga: Sejarah NATO, Aliansi yang Berada di Pusaran Perang Rusia-Ukraina
Di satu sisi, Presiden Rusia Vladimir Putin pun telah menuntut agar Ukraina tidak pernah bergabung dengan aliansi karena ia berusaha untuk membatasi kehadiran NATO di Eropa Timur.
Selama pidato video beberapa hari sebelum dia mengumumkan operasi militer di Ukraina, Putin menghubungkan krisis saat ini secara langsung dengan tuntutan Rusia terhadap NATO , yang mencakup jaminan bahwa NATO berhenti memperluas ke Timur dan menarik kembali infrastrukturnya dari negara-negara Eropa Timur yang bergabung setelah Perang Dingin. Dia menuduh AS dan NATO mengabaikan tuntutan Rusia dan menyalahkan Barat atas krisis saat ini di Ukraina.
Baca juga: Putin: Ukraina Bergabung ke NATO Berpotensi Picu Perang Rusia-Prancis
Operasi militer Putin pada 24 Februari telah mendorong sekutu NATO segera melalukan banyak hal khawatir ketegangan akan terus meningkat.
Mereka mengeluarkan sanksi untuk menyulitkan ekonomi Rusia, memperkuat pasukan di sepanjang sayap Timur aliansi dan berulang kali memperingatkan bahwa serangan terhadap satu anggota NATO adalah serangan terhadap semua.
Setelah serangan Rusia di Ukraina, Presiden AS Joe Biden dan NATO langsung melakukan pertemuan untuk menegaskan solidaritas dan untuk memetakan langkah selanjutnya yang akan diambil untuk lebih memperkuat semua aspek aliansi NATO.
Biden telah berulang kali mengatakan AS tidak akan mengirim pasukan untuk terlibat dengan Rusia di Ukraina, meskipun ia baru-baru ini mengizinkan pengerahan pasukan darat dan udara di Eropa untuk mendukung sekutu sayap timur NATO yakni di Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, dan Rumania dalam menanggapi agresi Rusia.
Setelah serangan pada 24 Februari lalu di Ukraina, Biden telah mengizinkan pasukan tambahan untuk dikerahkan ke Jerman sebagai bagian dari tanggapan NATO.
“Pasukan kami tidak pergi ke Eropa untuk berperang di Ukraina tetapi untuk membela sekutu NATO kami dan meyakinkan sekutu itu di Timur,” kata Biden dalam pidatonya beberapa waktu lalu.
"Seperti yang saya jelaskan, Amerika Serikat akan mempertahankan setiap inci wilayah NATO dengan kekuatan penuh kekuatan Amerika,” lanjutnya.
Dampak potensial dari konflik Ukraina pada kepentingan AS dianggap "signifikan", oleh Dewan Hubungan Luar Negeri. Mereka menilai konflik berisiko memburuknya hubungan AS-Rusia lebih lanjut dan eskalasi yang lebih besar jika Rusia memperluas kehadirannya di Ukraina atau ke negara-negara NATO.
"Saya pikir kita seharusnya tidak terpaku hanya pada Ukraina," Doug Lute, mantan duta besar AS untuk NATO dan kontributor ABC News, mengatakan kepada ABC News Live setelah pidato Putin beberapa waktu lalu.
"Ambisi [Putin] di luar itu pada dasarnya adalah memundurkan waktu 30 tahun dan membalikkan kemajuan yang dibuat di Eropa Barat, tentu saja Eropa Tengah dan Timur, dan jika mungkin, memutuskan hubungan antara Amerika Serikat dan sekutu Eropanya,” lanjutnya.
Lalu, apakah konflik ini melampaui Ukraina dan berdampak pada anggota NATO, yang dapat membuat organisasi tersebut menerapkan klausul pertahanan diri bersama - apa yang dikenal sebagai Pasal 5 perjanjian NATO, yang menyatakan bahwa serangan bersenjata terhadap satu atau lebih dari mereka di Eropa atau Amerika Utara akan dianggap sebagai serangan terhadap mereka semua?” Ini artinya, jika satu sekutu diserang, yang lain akan merespons dengan tindakan yang diperlukan, termasuk angkatan bersenjata, untuk memulihkan dan menjaga keamanan kawasan Atlantik Utara.
Pertama dan satu-satunya saat NATO menggunakan Pasal 5 adalah sebagai tanggapan atas serangan teroris 11 September, untuk mendukung AS.
Biden sempat mengatakan AS dan sekutu NATO-nya akan memenuhi komitmen Pasal 5 jika perlu sebagai tanggapan terhadap Agresi Rusia, meskipun mereka berusaha untuk meredakan konflik melalui peningkatan sanksi.
"Jika [Putin] benar-benar pindah ke negara-negara NATO, kami akan terlibat," kata Biden kepada wartawan.
"Satu-satunya hal yang saya yakini adalah -- jika kita tidak berhenti sekarang, dia akan menjadi berani. Jika kita tidak bergerak melawannya sekarang dengan sanksi yang signifikan ini, dia akan menjadi berani,” ujarnya.
Pejabat AS melihat Pasal 5 sebagai pencegah lain untuk agresi Rusia lebih lanjut.
"Apakah ada kemungkinan bahwa Putin melampaui Ukraina? Tentu, itu kemungkinan, tetapi ada sesuatu yang sangat kuat yang menghalangi - itu adalah sesuatu yang kami sebut Pasal 5 NATO," kata Menteri Luar Negeri Antony Blinken dalam sebuah wawancara dengan David Muir dari ABC.
"Presiden sudah sangat jelas bahwa kami akan mempertahankan setiap inci wilayah NATO. Saya pikir itu adalah pencegah paling kuat terhadap Presiden Putin melampaui Ukraina,” tambahnya.
(Susi Susanti)