MEDAN - Raut muka AS alias Teger (27) langsung berubah saat menceritakan kembali pengalamannya dirampok sejumlah preman di kawasan Simpang Barat, Jalan Gatot Subroto/KH Wahid Hasyim/Iskandar Muda, Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, akhir September 2016 lalu.
Tarikan nafasnya terasa begitu berat, seolah masih menahan amarah dan dendam yang belum tuntas atas peristiwa memilukan itu. Maklum saja, akibat perampokan tersebut, Teger harus kehilangan ponsel baru dan uang tunai ratusan ribu rupiah dari hasil gaji pertama, di perusahaan tempatnya bekerja sampai saat ini.
“Asli, itu baru gajian. Gaji pertama pula setelah aku pindah ke perusahaan yang sekarang. Jadi setelah traktir teman-teman, bayar kos, ada lah sisa. Munculah niat untuk nakal-nakal sedikit. Tapi yang ada ujungnya menderita. Duit raib, dipukuli pula, sial kali lah pokoknya,”keluh Teger saat disambangi Okezone, barubaru ini.
Teger bercerita, pemerasan itu bermula dari keinginannya untuk memenuhi hasrat seksualnya melalui jasa pekerja seks komersial (PSK) yang memang banyak mangkal di kawasan Simpang Barat. Setibanya di kawasan yang identik dengan “Segitiga Emas Prostitusi” Kota Medan itu, Teger langsung tertarik dengan seorang perempuan muda berkulit putih dan bertubuh mungil yang duduk dengan pakaian serba mininya di depan salah satu hotel melati di kawasan tersebut.
“Waktu kenalan namanya Windi, anaknya imut-imut. Begitu deal harga, langsung angkut ke kamar hotel di belakang tempat dia mangkal,”kata Teger.
Sesampainya di kamar, Teger yang hasratnya sudah diubun-ubun langsung memberikan bayaran sesuai harga yang sudah disepakati dengan Windi. “Aku mau cepat aja, langsung kukasih dia uang Rp500 ribu untuk dua kali main. Tapi begitu dia mau kupeluk dan kusuruh buka baju, dia malah menolak. Dia menyuruh aku bersih-bersih dulu di kamar mandi. Saat aku di kamar mandi dia buka pintu kamar, alasan mau beli kondom dari petugas hotel,” ujarnya.
Karena masih mendengar suara Windi dari balik dinding kamar, Teger tak menaruh curiga. Tapi belakangan ia sadar Windi telah menipunya, karena Windi tak kunjung kembali setelah sekitar 10 menit keluar dari kamar yang mereka sewa.
“Karena dia sudah kelamaan perginya, dan suaranya sudah enggak terdengar, akhirnya aku pakai baju lagi dan mencari dia. Waktu aku keluar hotel, aku lihat dia sama beberapa laki-laki di pinggir jalan. Dia di atas becak (betor). Terus aku datangi,” sebutnya.
Langkah Teger mendatangi Windi, ternyata menjadi awal petaka itu. Windi yang sadar dengan keberadaan Teger langsung bersembunyi dibalik badan seorang pria kekar yang belakangan mengaku sebagai pacarnya.
“Aku awalnya mau marah karena mentah-mentah ditipunya. Tapi karena dia sama banyak laki-laki malah aku yang dituduh enggak bayar dia sesuai perjanjian. Dia pula lebih lantam dari aku. Sempat adu mulut kami. Tapi belakangan salah satu laki-laki yang bersama dia (Windi) memukul muka ku. Aku langsung tersungkur. Belakangan laki-laki itu mengaku pacar si Windi, dia lalu mengambil dompetku dan pergi sama si Windi,” ujar Teger.
“Habis dipukuli aku mau telefon kawan minta tolong. Tapi rupanya handphone ku pun sudah enggak ada di kantong. Rupanya waktu di kamar, si Windi mengambil handphone ku juga. handphone itu baru kubeli juga,” tambahnya.
Karena sudah tak berdaya, Teger pun memutuskan untuk mengambil sepeda motornya yang tertinggal di hotel, dan kemudian menemui teman-temannya untuk meminta pertolongan.
“Kawan-kawan enggak berani karena disitu memang banyak preman. Mereka malah menyuruh aku melapor ke Polisi. Tapi aku enggak mau lah. Malu. Aku baru kerja, nanti kalau ada namaku di Koran atau dipanggil Polisi kan repot. Jadi ya kuikhlaskan aja. Hitung-hitung sedekah dan nambah pengalaman,” ujarnya menutup perbincangan.