Terpisah, Sosiolog Rizki Ary, mengatakan, Lerong bukanlah fenomena baru. Aksi serupa sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Namun bedanya, aksi tipu-tipu dan pemerasan oleh PSK itu dulunya dilakukan secara tertutup dan di tempat terisolir.
“Kalau sekarang PSK jalanan yang melakukannya. Mereka sudah berani, karena kalau kepergok tinggal SMS atau telefon bekingnya. Lalu datang mengeroyok korban ramai-ramai. Pada prinsipnya sama hanya namanya yang berbeda. Tapi memang ini cukup mengkhawatirkan karena perbuatan itu melibatkan banyak orang,” jelasnya.
Terlibatnya banyak orang dalam satu wilayah dalam aksi kriminalitas seperti Lerong itu, kata Rizki, berpeluang menciptakan terwujudnya kejahatan komunal yang akan semakin sulit di atasi. Sehingga Polisi diminta tak bermain-main membiarkan kasus tersebut.
“Kalau ini dibiarkan terus-menerus, Medan enggak lama lagi akan punya tempat seperti Kali Jodo itu. Di mana tindak kejahatan berlangsung secara komunal. Intinya penegakkan hukum di kawasan itu. Karena kalau tidak, anak-anak di kawasan itu yang akan menjadi korban kejahatan komunal tersebut,” jelasnya.
Hal senada juga dikatakan, Psikolog, Irna Minauli. Menurutnya penegakkan hukum atas aksi Lerong harus segera dilakukan. Penegakkan hukum penting untuk mencegah meluasnya dampak Lerong terhadap kecenderungan perilaku kriminal warga.
“Para PSK itu kan terbiasa melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Mereka yang terbiasa melanggar aturan atau norma sosial cenderung lebih mudah melakukan tindak kriminal lain. Apalagi jika terjadi kondisi saling menguntungkan antara PSK dengan pelaku kriminal lain. Tindakan yang awalnya hanya Lerong itu bisa menjadi kejahatan komunal,” kata Minauli
Minauli menyebutkan, kecenderungan para pelanggar norma untuk lebih mudah melakukan tindak kriminal lain disebabkan karena para pelanggar norma seringkali memiliki standar norma yang lebih longgar dan fleksibel. Sehingga segala sesuatu cenderung disesuaikan dengan kerangka berpikirnya sendiri.
“Mereka cenderung memiliki sistem keyakinan (belief system) yang berbeda dengan kebanyakan orang dan sering terjadi distorsi dalam cara berpikirnya,” kata Minauli.
Minauli menjelaskan, ketika seseorang masuk dalam suatu komunitas yang melakukan pelanggaran maka mereka juga akan berkumpul dengan para pelanggar norma lainnya. Para pelanggar norma umum lebih menuruti dorongan hatinya dan kurang mampu menunda untuk mendapatkan kepuasan. Mereka cenderung ingin segera memuaskan hasratnya, seringkali tanpa mempedulikan apakah hal itu melanggar aturan atau tidak.
“Menurut ahli psikoanalisis, kurangnya peranan superego dalam kehidupan mereka membuat para pelanggar cenderung hanya menuruti id atau dorongan primitif mereka. Fungsi ego sebagai penyeimbang seringkali agak lemah. Ini yang harus dicegah agar tak meluas di kawasan itu,” terangnya.
“Di satu sisi sebenarnya ada manfaat juga kalau terdapat asosiasi antara prostitusi dan kriminalitas sehingga orang akan enggan datang ke tempat tersebut. Umumnya kan para penikmat layanan prostitusi akan mencari tempat yang aman sehingga mereka akan senang untuk terus berkunjung. Kalau sudah tak aman mereka pasti akan pergi. Tapi yang paling penting sebenarnya bagaimana memberantas setiap lokasi-lokasi pelacuran itu,” tutupnya.
(Khafid Mardiyansyah)