Tuntutan mereka adalah menghentikan proyek PLTP Gunung Slamet. Pasalnya pembangunan proyek tersebut membabat hutan lindung. Akibatnya Sungai Prukut yang jadi sumber air sebagian besar warga Kecamatan Cilongok jadi keruh akibat kerukan tanah proyek.
Masalah lain yang timbul adalah turunnya hewan liar ke perkebunan warga seperti babi hutan, rusa, dan kijang. Ketika musim panen tiba, warga Dusun Grumbul Semaya Desa Sunyalangu, Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas tidak bisa meninggalkan lahan pertaniannya karena takut terserang hewan liar.
Menjelang pukul 22.00 WIB, langit Banyumas gelap tak berbintang. Sempat terdengar pengeras suara dari aparat dan mengimbau massa aksi untuk membubarkan diri. Saat itu tersisa sekitar 60an orang massa aksi. Mereka bersalawat dan duduk bergandengan tangan menghadap ke kantor bupati.
Sejumput kemudian, keluar 300 aparat Polisi dan Satpol PP dari komplek kantor bupati. Mereka membentuk barikade di depan massa aksi berjarak kurang dari satu meter. Situasi mulai mencekam. Tidak lama berselang, Cen melihat kawannya ditarik aparat. Salawat yang dilantunkan massa aksi mereda. Perlahan berganti teriakan.
Situasi tak terkendali. Massa aksi berpencar. Ada yang berhasil menghindari aparat, ada pula yang tertangkap dan menerima pukulan seperti Cen. Saat Cen dikeroyok oleh aparat, Catur Sasongko - koordinator lapangan aksi - ingin menolong Cen. Namun, Catur malah menjadi sasaran aparat juga dan ikut diseret. Bogem mentah bertubi-tubi menghantam dahi, rahang, leher belakang, serta pipinya. Ia juga berkali-kali mendapat pukulan tongkat aparat. Bagian belakang badannya juga tak luput dari tendangan.
Cen dimasukkan ke mobil dalmas sedangkan Catur diseret ke sebuah mobil mini bus. Di dalam mobil, kondisi Cen tidak tentu. Kepalanya berat, perut dan dadanya sakit. Ia tidak tahu siapa saja yang ada di mobil itu karena gelap sekali. Cen dan belasan orang di mobil itu diinstruksikan jongkok dan membuka baju.
Catur Sasongko duduk dengan napas tidak teratur di dalam mini bus. Dahi kanannya mengeluarkan darah. Kaos hitam yang ia kenakan sobek. "Jumlahnya (aparat yang memukul) banyak sekali. Saya tidak ingat," ujar Catur saat diwawancarai Okezone.
Di bagian depan dan kemudi, ia lihat dua orang berseragam polisi. Mereka diam saja. Dalam suasana hening itu, Catur khawatir dan gelisah memikirkan kawan-kawannya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sesaat kemudian, Catur melihat beberapa aparat menyeret Ahmad Sucipto, ke dalam mini bus bersamnya. Lutut dan dahi Cipto terluka. Ia adalah aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria Banyumas dan sempat berorasi saat aksi.
"Mukaku dipukulin. Kakiku kena aspal karena diseret," kata Cipto beberapa saat lalu.
Cipto melihat tisu di bagian depan mobil. Karena darah terus keluar dari dahi, Cipto meminta tisu itu kepada polisi di bagian depan mobil. "Nanti saja di kantor," kata Catur menirukan polisi itu.