Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Tarik Ulur Pengesahan UU Pemilu yang Kini Masih Diuji Materi di MK

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Selasa, 19 Desember 2017 |13:30 WIB
Tarik Ulur Pengesahan UU Pemilu yang Kini Masih Diuji Materi di MK
Sidang paripurna RUU Pemilu
A
A
A

UU Pemilu Digugat ke MK

RUU Pemilu akhirnya diteken oleh Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2017. UU tersebut terdaftar di lembaga negara sebagai UU Nomor 7 Tahun 2017. UU ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran.

Usai diketok palu dan ditandatangani Jokowi, tak berarti polemik perihal UU Pemilu selesai. Justru persoalan UU Pemilu memasuki babak baru menyambut pesta demokrasi pada 2019.

Pihak-pihak yang keberatan dengan sejumlah pasal yang tertera di UU Pemilu itu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konsitusi (MK). Mulai dari Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Islam Damai Aman (Idaman), secara bergiliran mendaftarkan gugatannya ke MK. Selain dari parpol, ada pula organisasi yang mengajukan gugatan soal UU Pemilu, yaitu Advokat Cinta Tanah Air (ACTA). Tak ketinggalan, lembaga pemilu pun mengajukan gugatan, seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif.

PBB melalui Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra resmi mengajukan gugatan ke MK soal Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada 5 September 2017. Dalam pasal itu, diatur ketentuan soal presidential threshold 20/25% suara sah nasional. Menurut Yusril, aturan tersebut merugikan pihaknya untuk mengusung capres atau cawapres pada Pemilu 2019.

(Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra gugat UU Pemilu ke MK)

Senada dengan PBB, Partai Idaman pun mempersoalkan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait presidential threshold. Selain parpol, ACTA, mantan komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, dan pakar komunikasi politik Effendi Gazali juga mengajukan gugatan ke MK. Penerapan presidential threshold dinilai inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945 dan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, yang menyatakan pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak.

"Presidential threshold bertentangan dengan pasal 6 A ayat 3 UUD 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, Jakarta, Rabu (19/7/2017).

Menanggapi polemik presidential threshold yang digugat PBB dan Partai Idaman, Tjahjo menjelaskan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam Pasal 222 UU Pemilu sudah disepakati antara pemerintah dan DPR demi mewujudkan sistem presidensil yang kuat.

(Mendagri Tjahjo Kumolo. Foto: Reni Lestari/Okezone)

"Merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR di dalam membahas rancangan undang-undang, yang semangatnya sama untuk membentuk sistem pemerintahan presidensil yang efektif, efisien, demokratis sesuai dengan aturan-aturan hukum yang ada, demi mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratis di masa-masa yang akan datang," kata Tjahjo di Gedung MK, Jakarta, Senin (25/9/2017).

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, justru khawatir bila presidential threshold ditiadakan pada Pemilu 2019. Itu lantaran parpol bisa mengusung pasangan capres masing-masing tanpa harus koalisi.

Ia menjelaskan, bila presiden yang terpilih mempunyai wakil yang minim di DPR atau sama sekali tidak mempunyai wakil di DPR, figur presiden ini akan sulit mendapat dukungan politik di parlemen.

"Potensi sandera politik terhadap presiden akan semakin besar," kata Arsul dalam sidang uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di MK, Jakarta, Selasa (14/11/2017).

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement