17 Mei 1998: Pembakaran dan penjarahan. Reformasi 1998, H-4
Penjarahan terus berlangsung selama 13-15 Mei. Kerusuhan ini telah mengakibatkan kerugian fisik di Jakarta sebesar Rp2.5 triliun. Menurut Gubernur Sutiyoso (Kompas 18 Mei), kerugian terjadi akibat kerusakan 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal, 1.600 toko, 45 bengkel, 11 polsek, 380 kantor swasta, 65 kantor bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom bensin, 8 bis kota, 1119 mobil, 1026 rumah penduduk dan gereja.
Sementara itu Bandara Halim Perdanakusuma dibanjiri pengungsi warga asing dan WNI yang bergabung dalam arus evakuasi dari Jakarta yang dilanda kerusuhan.

Pada malam hari di kantung-kantung permukiman, suasana seperti yang digambarkan pada masa perjuangan 1945. Di setiap sudut jalan para lelaki bersiskamling bergerombol dengan senjata di tangan. Mereka mempersenjatai diri dengan golok, samurai sampai stik golf. Kewaspadaan yang tinggi terutama di daerah perumahan karena ada desas-desus akan terjadi penjarahan.

18 Mei 1998: Mahasiswa bergerak ke DPR/MPR. Reformasi H-3
Pada 16 Mei 1998 ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta mulai bergerak menuju gedung DPR/MPR di Senayan.

Dari waktu ke waktu mahasiswa terus berdatangan memenuhi gedung wakil rakyat bahkan sampai naik ke atas atap gedung. Ribuan mahasiswa menginap dan bertahan di gedung tersebut dengan risiko apapun. Tuntutan mereka satu: Soeharto harus turun dari jabatan presiden. Gedung DPR/MPR telah disita oleh rakyat.

Suasana malam di gedung DPR/MPR terasa mencekam. Walaupun banyak mahasiswa yang bertahan, terutama yang dari luar kota suasananya tetap diliputi ketidakpastian. Mereka mengisi waktu dengan bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
19 Mei 1998: Tuntutan mahasiswa: Soeharto turun. Reformasi 1998, H-2
Dukungan mulai membanjir dari elite politik, organisasi non-pemerintah, buruh dan rakyat. Kabinet Soehartopun terbelah. Para menteri dibawah Ginanjar Kartasasmita mengundurkan diri dari kabinet.
Bahkan Harmoko, ketua MPR dan loyalis Soeharto, dengan tegas mengeluarkan pernyataan agar Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Siaran pers disambut sorak-sorai massa. Akhir perjuangan panjang terasa terasa makin dekat.

Akan tetapi kegembiraan tersebut ternyata datang terlalu cepat. Empat jam kemudian Panglima ABRI Wiranto mengadakan rapat kilat dengan kepala staf dan Kapolri serta para panglima komando operasi di markas besar ABRI dan menyatakan: pernyataan tersebut hanyalah pendapat individual meskipun disampaikan secara kolektif.
Sesuai dengan konstitusi pendapat tersebut tidak memiliki ketetapan hukum.