Dalam persidangan, Mustika Akbar maupun Tamin tidak dapat membuktikan bahwa pembayaran berupa uang dan mobil yang telah diterima Tamin dari Mujianto, masuk dalam pembukuan perusahaan. Mobil Land Cruiser yang menjadi bagian pembayaran itu juga belum masuk menjadi aset perusahaan.
Masalahnya, status tanah yang menjadi objek jual beli antara PT Erni Putera Terari dengan PT Agung Cemara Reality masih tercatat sebagai tanah negara. Belum ada rekomendasi melepas hak negara dari Menteri BUMN yang membawahi PTPN2 atas aset itu.
Perkara ini kemudian bergulir ke Pengadilan Tipikor pada PN Medan. Senin (27/8), Tamin divonis bersalah dan dihukum 6 tahun penjara dan didenda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 132.468.197.742. Sementara lahan yang menjadi barang bukti dikembalikan ke PT Erni Putra Terari dan ke PT Agung Cemara Reality.
Putusan itu diwarnai dissenting opinion, karena salah seorang hakim, Merry Purba, berpendapat dakwaan tidak terbukti. Namun dia kalah suara dengan Ketua majelis hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dan hakim anggota I, Sontan Merauke Sinaga, yang menyatakan Tamin bersalah.
Pengadilan ini ternyata berujung pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Selasa 28 Agustus 2018, sehari setelah pembacaan putusan.
Ketiga hakim yang menyidangkan perkara ini sempat diamankan bersama Ketua PN Medan ketika itu Marsudin Nainggolan, namun hanya Merry Purba yang menjadi tersangka bersama seorang panitera Helpandi. Sementara dari pihak swasta KPK menetapkan Tamin Sukardi dan orang kepercayaannya, Hadi Setiawan, sebagai tersangka pemberi suap.
(Fakhri Rezy)