Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Tsunami Selat Sunda: Mengapa Tidak Terprediksi?

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Selasa, 25 Desember 2018 |08:43 WIB
Tsunami Selat Sunda: Mengapa Tidak Terprediksi?
Foto areal kerusakan akibat tsunami di kawasan Carita, Banten, Senin (24/12/2018). (Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay)
A
A
A

Salah satu alat yang ia sarankan untuk digunakan mendeteksi tsunami adalah wave gauge profiler yang ditanam di dasar laut. Negara yang menggunakan adalah Jepang. Jarak 200 kilometer dari pantai terpasang demi mengukur tinggi gelombang di dasar laut.

Dibandingkan dengan buoy, menurutnya, wave gauge profiler lebih efektif. Sebab buoy kerap tidak berfungsi karena vandalisme dan tak terpelihara. Begitu pula dengan tidal gauge yang pemasangannya harus berada di pantai atau pelabuhan sehingga deteksi tsunami sudah pasti terlambat.

"Kita enggak bisa pakai buoy karena belum bisa menyelesaikan masalah sosialnya. Mau bikin 100 buoy, selama masalah sosial enggak selesai, akan hilang. Jadi cari alat yang tidak muncul di permukaan," jelasnya.

"Kalau tidal gauge tidak bisa dimasukkan dalam komponen peringatan dini. Karena apa? Kalau di pantai, kalau tsunami sudah terdeteksi di tidal, tsunami sudah ke darat. Kalau gitu peringatan dininya sudah hilang."

"Jadi perangkat deteksi kita masih sangat-sangat di bawah standar."

Presiden Joko Widodo (kedua kiri) menengok korban luka-luka akibat tsunami, Purwanto di Puskesmas Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten pada Senin (24/12/2018). (Antara)

Hal lain, kata Abdul Muhari, Indonesia tidak memiliki catatan gempa atau tsunami sebaik Jepang. Negara Matahari Terbit itu punya catatan sampai 200 tahun sebelum Masehi, sehingga bisa memprediksi daerah-daerah tertentu yang akan mengalami bencana serupa.

(Baca Juga : Kata Ahli soal Tsunami di Banten Akibat Longsoran Gunung Anak Krakatau)

Sedangkan Indonesia cuma memiliki data valid tentang gempa dan tsunami dari tahun 1600-an.

"Kita punya catatan dari Belanda dan Rusia. Jadi ada ilmuwan yang memetakan kejadian gempa di Indonesia dari tahun 1600, namun itu cerita dan catatan kejadian. Misalkan tahun 1900 sekian ada guncangan di Batavia, kemudian air naik, rumah rusak, korban jiwa. Sebatas itu deskripsi dampaknya," jelasnya.

(Baca Juga : Masyarakat Indonesia Harus Diberi Edukasi Tanggap Bencana)

"Cuma itu kan kita enggak tahu guncangannya berapa kuat. Sehingga kita belum bisa memetakan dengan pasti potensi seismik dengan tepat. Sementara periode pengulangan sebuah peristiwa berbeda."

(Baca Juga : Khawatir Tsunami Datang Lagi, Ribuan Pengungsi Bertahan di Dataran Tinggi)

(Erha Aprili Ramadhoni)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement