"Anehnya, gugatan yang teregister dengan perkara nomor 170/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Brt yang kami layangkan per tanggal 15 Maret 2018 baru diputuskan setelah 1 tahun lebih, yaitu pada tanggal 26 Maret 2019," tukasnya.
Selain menggugat MBH, Hartono juga menggugat pengembang apartemen yang dibelinya, PT KUS, dikarenakan transaksi jual beli dilakukan dihadapan pengembang dan notaris rekanan pengembang. Sehingga ditariknya PT KUS hanya bertujuan agar pihaknya mentaati putusan hakim dalam hal gugatan Hartono dikabulkan.

Menurut Firza, selama proses persidangan MBH maupun kuasa hukumnya tidak pernah memenuhi panggilan dari pengadilan, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut bahkan telah dipanggil melalui media massa dengan biaya yang tidak sedikit.
"Harusnya pengadilan memutuskan perkara itu paling lambat 5 bulan. Dan karena pelaku selaku tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan, dengan demikian dalil-dalil gugatan Hartono tidak pernah dibantahkan kebenarannya, maka harusnya diputuskan Verstek, berdasarkan Pasal 125 HIR," tegasnya.
Selain itu, apabila tergugat tidak hadir setelah pemanggilan sah dan patut, harusnya dilakukan poses pemeriksaan pada tergugat secara kontradiktor. Alhasil, tanggal 26 Maret 2019, majelis hakim memutuskan perkara tersebut. Namun putusan itu dianggap aneh dan mengecewakan.
"Setelah lebih dari 1 tahun, Pengadilan memutuskan gugatan kami tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Itu sangat aneh dan mengecewakan, " pungkasnya. Itu sebabnya, Hartono dengan kuasa hukumnya mengajukan permohonan bantuan serta perlindungan hukum kepada Komisi Yudisial (KY), dan juga telah mengajukan banding terhadap putusan PN Barat tersebut.
(Awaludin)