DEN HAAG - Kepala jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah menyerukan penyelidikan penuh terhadap dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan selama perang berdarah terhadap narkotika yang dilakukan oleh Pemerintah Filipina.
Fatou Bensouda, yang meninggalkan jabatannya pekan ini, membuka penyelidikan awal terhadap perang narkoba Filipina pada 2018. Presiden Filipina Rodrigo Duterte menarik diri dari ICC segera setelah itu.
BACA JUGA: Hakim ICC Akan Selidiki Kejahatan Kemanusiaan di Palestina
Ribuan warga sipil Filipina diketahui tewas dalam kampanye tersebut. Data pemerintah mengakui lebih dari 6.000 kematian, tetapi kelompok hak asasi manusia (HAM) internasional
Data nasional mengakui lebih dari 6.000 kematian, tetapi kelompok hak asasi internasional telah lama memperingatkan angka itu bisa jauh lebih tinggi, demikian diwartakan BBC.
Seorang juru bicara Presiden Duterte mengatakan pemerintahnya tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan ICC karena Filipina tidak lagi menjadi anggota. Duterte telah berulangkali mengatakan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi terhadap dirinya.
BACA JUGA: ICC Tolak Selidiki China Terkait Pengaduan Genosida Uighur
Tindakan keras anti-narkoba yang kontroversial telah memicu kecaman internasional terhadap Filipina selama bertahun-tahun, termasuk dari PBB.
Bensouda pertama kali mengatakan dia "sangat prihatin" tentang laporan pembunuhan di luar proses hukum pada Oktober 2016.
Pada Senin dia mengatakan dia telah memutuskan ada dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa pembunuhan telah dilakukan, dan dia meminta hakim di pengadilan kejahatan perang untuk mengizinkan penyelidikan penuh di bawah penggantinya.
Bensouda yang mengakhiri masa jabatannya sebagai Jaksa Pimpinan ICC pada Rabu (16/6/2021) akan digantikan oleh Karim Khan, seorang pengacara Inggris.
Dalam pernyataannya, Bensouda mengatakan bahwa informasi yang tersedia menunjukkan bahwa anggota polisi Filipina, dan orang lain yang bertindak bersama mereka, telah membunuh secara tidak sah antara beberapa ribu dan puluhan ribu warga sipil selama periode antara Juli 2016 dan Maret 2019.
Dia mengatakan pengadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dugaan kejahatan selama negara itu menjadi pihak dalam ICC, sebelum pengunduran diri Duterte mulai berlaku.
Perkembangan tersebut disambut baik oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Amnesty International menggambarkan penyelidikan itu sebagai "langkah penting", yang dapat memberikan harapan bagi ribuan keluarga yang berduka atas kematian orang-orang yang mereka cintai dalam “perang” berdarah itu.
(Rahman Asmardika)