JAKARTA - Beberapa pekan terakhir, perhatian dunia internasional nyaris tersita dengan situasi konflik Rusia versus Ukraina yang terus bergejolak. Situasi di kawasan Eropa Timur ini semakin kompleks dengan intervensi AS dan sekutunya dalam baju kebesaran bernama NATO. Pakta Pertahanan Atlantik Utara yang secara DNA kelahirannya merupakan bodyguard kekuatan Blok Barat sang musuh utama Blok Timur yang digawangi Rusia sejak masih bersatu-padu dalam Republik Uni Soviet.
Selain menyeret AS dan NATO ke dalam pusaran konflik, beberapa negara Eropa lainnya seperti Jerman dan Prancis juga menyatakan dukungan terhadap kubu Ukraina. Di sisi lain, China ‘the emerging power dari Asia Timur secara terang-terangan menyatakan sokongan penuh terhadap Rusia sebagai sekutu tradisionalnya. Jalur diplomasi mandek, Ukraian dan Rusia justru saling menunjukkan powernya secara high profile melalui jalur militer.
Tak pelak, konflik yang semula hanya melibatkan dua negara itu, kini menjadi konflik transnational paling panas, bahkan bisa dikatakan terpanas sejak Perang Dingin ‘cold war’ berakhir. Sebagian kalangan malahan menilai bahwa konflik kedua negara yang semula merupakan sekutu itu mengarah kepada terjadinya Perang Dunia III. Pertanyaanya kemudian, akankah perang terbuka antara Ukraian versus Rusia dengan sokongan masing-masing sekutunya itu akan benar-benar terjadi ?
Baca juga: Siap-Siap! Harga BBM Bisa Naik Lagi Imbas Lonjakan Minyak Dunia
Mengikuti konflik antara Ukraina kontra Rusia memang tidak lengkap jika kita hanya mencermati kondisi saat ini karena konflik kedua negara telah berlangsung sejak lama bukan hanya dimulainya pendudukan kawasan semenanjung Krimea oleh Rusia pada 2014 lalu.
Baca juga: 6 Hal yang Bisa Bikin Miskin dari Ketegangan Rusia-Ukraina
Bukan pula tentang peristiwa 1991 dimana Ukraina memisahkan diri dari Uni Soviet seiring berakhirnya Perang Dingin dan menjadikannya resmi menjadi negara berdaulat. Tapi, jauh lebih jauh dari itu, mundur ke belakang ketika Joseph Stalin pada tahun 1940an mengeluarkan kebijakan untuk mentransfer etnis Rusia ke berbagai wilayah Ukraina.
Karena kebijakan pemimpin komunis dunia tersebut hari ini kemudian kita melihat bagaimana Ukraina terbelah menjadi dua wilayah yakni Ukraina Barat yang secara geografis dan politik lebih condong ke Barat dan Ukraina Timur (Donbass) yang pro-Rusia karena scara geografis dan politik lebih dekat ke Rusia. Sebelum resmi berdiri sebagai negara republik, Ukraina memang sudah menjadi bagian Uni Soviet selama beberapa dekade hingga kemudian Uni Soviet berantakan menjadi Rusia pada 26 Desember1991.
Perbedaan etnis dan kepentingan menjadikan bangsa Ukraina terperosok ke dalam jurang perpecahan. Di Krimea misalnya, warganya telah beberapa kali melakukan referendum untuk menentukan nasibnya demi terlepas dari Ukraina. Dilansir buku The Crimea Question: Identity, Transition, and Conflict karya Gwendolyn Sasse, lebih dari 90 persen warganya ingin Krimea kembali menjadi wilayah otonom di bawah pemerintah Rusia.
Baca juga: Rusia Disebut-sebut Akan Serang Ukraina Setelah Tanggal 20 Februari
Krimea dihuni oleh etnis Rusia sebagai penduduk mayoritas tak lepas dari kebijakan Stalin yang menyebarkan etnis Rusia ke kawasan ini ketika pemimpin Uni Soviet tersebut berkuasa pada era 1940-an. Etnis Rusia kala itu menggusur etnis Tartar yang merupakan bangsa Turki nomaden yang telah menempati kawasan itu sejak abad ke 14-15.
Baca juga: Khawatir Invasi Terjadi Rusia Minta NATO untuk Tenang, Peningkatan Pasukan Hanya Mitos
Etnis Tartar yang beragama Islam di bawah tekanan Uni Soviet kala itu terpaksa harus bermigrasi ke kawasan Asia Tengah dan digantikan oleh etnis Rusia yang berideologi komunis. Etnis Tartar sebenarnya, banyak yang kembali ke Krimea seiring runtuhnya kekuasaan Stalin, namun secara jumlah mereka tentu saja kalah banyak dengan etnis Rusia yang kini secara mayoitas mendiami semenanjung Krimea. Secara geopolitik, Krimea yang berada di bibir laut hitam memiliki arti penting bagi kepentingan ekonomi Rusia dalam memasok komoditas ekspor Rusia terhadap Eropa melalui jalur laut.
Selain di wilayah Krimea, kantung-kantung pro-Rusia juga tersebar di kawasan Donbass (Ukraina Timur) seperti Donetsk dan Luhansk yang pernah memerdekakan diri dari Ukraina pada 2014. Bagi Ukraina meskipun wilayah-wilayah tersebut dihuni oleh etnis Rusia namun secara territorial merupakan kawasan sah Ukraina dan memperlakukan gerakan warganya sebagai aksi separatisme, sementara bagi Rusia operasi di wilayah Ukraina tersebut dalam upaya melindungi etnis Rusia yang pernah mekakukan referendum untuk menjadi bagian dari Rusia.
Kuatnya berbagai kepentingan Rusia di kawasan ini menyebabkan pertikaian horizontal di antara antara warga negara Ukraina telah menelan korban harta dan nyawa yang tidak sedikit. Konflik menahun ini telah menewaskan setidaknya lebih dari 13 ribu orang baik militer maupun sipil yang berlangsung sejak 2014 silam. Sebenarnya, sudah ada perjanjian damai antara Ukraina dan Rusia yang direalisasikan lewat perjanjian Minsk tentang Donbass pada tahun 2015 di mana di dalam perjanjian tersebut masing-masing pihak yang bertikai tidak menggunakan jalur kekerasan dan lebih mengedepankan jalur diplomasi.
Namun, Ukraina menolak mentah-mentah perjanjian tersebut karena menganggap lebih menguntungkan Rusia yakni salah satunya memberikan hak otonom bagi kantung-kantung wilayak pro-Rusia di Donbass (Ukraina Timur) dalam menjalankan hubungan dengan Rusia. Artinya, Ukraina tidak rela Rusia mengambil terlalu banyak apalagi lebih jauh adanya negara di atas negara.
Pengaruh Rusia sendiri di Ukraina kian hari kian terancam karena Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang kini berkuasa lebih pro ke Eropa (Barat) dan menjauhkan diri dari orbit Moskow sementara Presiden yang sebelumnya pro Rusia berhasil digulingkan Viktor Yanukovych dalam gerakan Euromaiden (gerakan pro Eropa) pada 7 tahun silam, tepatnya tahun 2014.
Baca juga: Khawatir Invasi Terjadi Rusia Minta NATO untuk Tenang, Peningkatan Pasukan Hanya Mitos
Konflik yang Sarat Berbagai Kepentingan Timur dan Barat
Ukraina membaca gelagat Rusia akan mencaplok atau invasi di Krimea demi memperkuat hegemoninya sebagai negara adi daya di blok Timur. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, Ukraina tentu memiliki kepentingan Nasional untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah teritorialnya. Pengajuan menjadi anggota NATO merupakan langkah strategis dalam melindungi diri karena perasaan terancam yang amat dalam.
Baca juga: Rusia Usir Wakil Duta Besar AS
Security Dilemma dalam hubungan internasional memang akan terus hadir sebagai sebuah konsep dengan negara yang berlomba untuk menaikan kekuatan militer cenderung terjerumus dalam kesalahpahaman seperti halnya Athena dan Sparta, demikian pula Korea Selatan versus Korea Utara dan Jepang versus China di masa lalu di masa lampau.
Kita menyaksikannya dalam kasus Ukraina dan Rusia di era kontemporer yang dilihat sebagai difensif Ukraina yang meminta bantuan NATO cenderung dinilai ofensif dan memicu tindakan agresif Rusia.
Rusia merasa terganggu, itulah sebabnya Rusia meminta kepada NATO dalam hal ini AS (karena sulit memisahkan atau tepatnya membedakan NATO dengan AS) untuk menolak permintaan Ukraina tersebut. Gayung tak bersambut, permintaan itu ternyata ditolak mentah-mentah, Presiden Joe Biden secara tegas bahwa AS dan NATO akan bersama Ukraina karena aneksasi menurut pandangan politik AS merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional.
Sikap Presiden AS ke-46 itu dalam menanggapi konflik Ukraina versus Rusia memang kontras dengan Donald Trump, presiden AS sebelumnya. Trump cenderung pasif dan lebih sering menyuarakan tentang kekesalannya terhadap anggota NATO yang menyisihkan anggaran pemebelian senjata kurang tiga persen kepada AS sebagai produsen utama senjata dunia setelah Rusia dan China.
Baca juga: Pentagon: Jet Militer Rusia Menghadang 3 Pesawat Angkatan Laut AS di Atas Laut Mediterania
Baru-baru ini, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev dalam sebuah wawancara resmi dengan media Rusia, mengatakan Ukraina kini telah berubah menjadi mainan di tangan NATO dan AS. Medvedev mengatakan bahwa Ukraina telah digunakan sebagai instrumen tekanan geopolitik di Rusia dan China. Rusia memang gencar menuding bahwa Ukraina telah termakan oleh provokasi AS dan sekutunya yang tergabung dalam NATO.
Baca juga: Wall Street Anjlok, Investor Tinggalkan Saham akibat Konflik Rusia-Ukraina
Bagi Rusia, tak masuk akal jika pihaknya harus menarik mundur pasukannya di perbatasan dengan Ukraina, sementara tentara NATO lengkap dengan persenjataan tempur justru bercokol di sana bahkan jumlahnya terus bertambah. Lebih dari 170 ribu personil tentara Rusia lengkap dengan senja tempur sudah disiagakan di perbatasan Rusia dengan Ukraina.
Di kubu lawan, lebih dari 100 ribu personil tentara Ukraina juga bersiap dengan kekuatan penuh. Jumlahnya bahkan masih terus bertambah seiring dengan kiriman tidak kurang dari 3000 pasukan NATO dan AS ke wilayah Eropa Timur tersebut.
Merasa terancam dan lelah menghadapi aksi seperatisme pro-Rusia, Ukraina pun meminta perlindungan keamanan dengan mengajukan permohonan sebagai anggota NATO. Langkah defensif Ukraian jelas membuat Rusia tak senang.
Di tengah suhu politik yang kian memanas, menarik membaca tulisan seorang jurnalis senior sekaligus pakar Ilmu Hubungan Internasional ternama Rusia Fyodor Lukyanov berjudul Russia has made a breakthrough with NATO. Dalam tulisan yang dipublish dan menjadi headlines di sejumlah portal news di berbagai negara tersebut, Lukyanov menyatakan bahwa NATO telah menjadikan negara-ngara bekas Uni Soviet sebagai mangsa baru dalam rangka melakuan ekpansi di kawasan Eropa.
Jurnalis bergelar professor ini juga menuding Ambisi NATO yang terus merangsek melakukan ekpansi di Eropa Timur hingga masuk ke halaman Rusia dalam hal ini Ukraina membuka tabir tentang wajah aslinya yang bermuka dua atau menerapkan standar ganda yang berkelindan dengan kepentingan AS sebagai aktor intelektual dari persekutuan pertahanan Amerika Utara dan Eropa tersebut.
Baca juga: Putin: Ukraina Bergabung ke NATO Berpotensi Picu Perang Rusia-Prancis
“The standoff over NATO expansion could arguably be a blessing in disguise, as it very swiftly removed the layer of hypocrisy with which these relations have been thickly coated. The varnish was a mix of two-facedness, double-talk and self-delusion, with a fair share of ideological dogma,” tulisnya.
Tidak hanya kalimat di atas, ia juga menyindir pakta pertahanan ini tidak pernah bisa solid karena perbedaan kepentingan di antara anggotanya bahkan ia mencapnya tidak konsisten.
Baca juga: 14 Negara Ini Terancam Hancur Jika Perang Dunia III Pecah
Lebih lanjut, ia mempertanyakan sikap NATO yang menabur bensin demi menyulut kobaran api dalam konflik Rusia tersebut padahal situasi sudah berubah, dan perubahan itu pun sama sekali tidak memihak Jerman atau Eropa, sementara itu kata Lukyanov, China justeru telah bangkit menjadi sebuah kekuatan besar dan belum tentu bersahabat.
Aroma konflik yang dilatarbelakangi perbedaan ideologi komunisme-sosialisme (Timur) versus liberalisme-kapitalisme (Barat) itu pun begitu terasa. Hal ini dikuatkan dengan pertemuan bilateral antara Rusia dan China di Beijing pada 4 Febuari lalu. Dalam pertemuan yang dihadiri Presiden Xi Jinping dan Vladimir Putin tersebut, China sang raksasa dari Asia Timur itu akan memberikan dukungan penuh terhadap Rusia dalam menghadapi NATO dan AS berikut para sekutunya.
Sebelumnya, pada 21 Januari lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Jenewa, Swis namun pertemuan diplomatik tersebut berujung nihil alias tak menghasilkan kesepakatan berarti. Memang pertemuan tersebut bukan pertemuan antara Rusia dan NATO akan tetapi memisahkan AS dengan NATO adalah suatu hal yang sulit atau bisa dikatakan 11-12.
Baca juga: Kroasia Akan Tarik Pasukannya dari NATO Jika Pecah Perang dengan Rusia
Keterlibatan NATO disinyalir tidak lepas dari misi memuluskan peran IMF yang getol memberikan kucuran dana utang terhadap negara yang mengalami krisis moneter seperti Ukraina. Sehingga, jika hegemoni Rusia masih bercokol, maka akan sulit bagi Ukraina yang merupakan salah satu lumbung pangan dunia tersebut menjaga stabilitas ekonominya. Suka tidak suka, jika hal itu terjadi akan berdampak pada kelancaran pengembalian utang Ukraina terhadap IMF.
Untuk mengatasi dampak pandemi misalnya, Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyetujui paket pinjaman senilai US$5 miliar kepada Ukraina dan US$2,1 miliar diantaranya sudah dicairkan. Kerja sama utang luar negeri yang telah disepakati antara Ukraina dengan IMF tentunya menjadikan negara dengan PDB per kapita 3,726.937 USD pada 2020 itu harus tunduk dengan cara-cara yang ditentukan IMF yang merupakan instrumen liberalisme ekonomi Barat.
Ini yang Bakal Terjadi Jika Perang Terbuka Ukraina Melawan Rusia Pecah
Melihat konstalasi politik yang terus berkembang dan kian kompleks serta melibatkan lebih dari dua negara tersebut, tidak heran jika muncul prediksi bahwa PD III akan segera pecah. Tapi benarkah perang yang ditakutkan dunia internasional itu benar-benar terjadi? Jika ya, seberapa besar kemungkinannya.
Jika benar-benar terjadi, perang yang melibatkan negara kaya minyak seperti Rusia (dan belakangan juga terjadi di Timur Tengah) tentu akan mempengaruhi produksi dan distribusi minyak dunia. Gangguan rantai pasok minyak akibat konflik bersenjata bisa membuat harga meroket karena kelangkaan minyak di pasar dunia tidak terhindarkan. Sejak gonjang-ganjing perang mengemuka, dampaknya sudah dirasakan secara global, minyak brent dunia sudah merangkak naik hingga U$D90/ barel, angka tertinggi sejak 2014.
Terlepas dari kepentingan politik dan ideology antara kekuatan Barat dan Timur, Barat dalam hal ini Eropa juga turut terdampak atas konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina karena sebenarnya di antara mereka memiliki hubungan ekonomi yang saling ketergantungan. Dalam hal pasokan energi misalnya, Rusia adalah negara merupakan pemasok utama energi migas negara-negara Eropa. Benua biru yang semakin dilanda krisis energi sejak beberapa tahun terakhir membutuhkan pasokan energi dari Rusia. Pun begitu, Rusia membutuhkan Ukraina karena negara tersebut merupakan lokasi jalur gas utama Rusia mengalir menuju Eropa dan menjadi sumber pundi-pundi rubel Rusia.
Baca juga: Rusia dan NATO Gagal Capai Kesepakatan, Polandia Ingatkan Potensi Pecahnya Perang
Konflik Ukraina versus Rusia yang ramai dibicarakan akan mengarah ke PD III sebenarnya masih terbuka untuk diselesaikan secara damai melalui jalur diplomasi. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB tentang negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan judicial settlement. Langkah progresif yang belakangan juga terus dilakukan para pihak terkait. Rusia misalnya, mengadakan pertemuan bilateral dengan Prancis di Kremlin pada 7 Februari lalu. Pertemuan yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Presiden Emmanuel Macron tersebut membahas krisis Ukraina dan masalah keamanan di Eropa. Pertemuan ini disebut-sebut sebagai upaya Rusia untuk mencari dukungan negara-negara Eropa dalam menghadapi tekanan AS.
Baca juga: Tegang dengan NATO, Rusia Siap Kerahkan Rudal Nuklir Jarak Menengah di Eropa
Selain itu, Rusia juga akan kembali menggelar pertemuan kedua kalinya dengan AS dalam waktu dekat setelah pertemuan pertama mengalami jalan buntu. Pada Kamis, (17/02/2022) Menlu Antony Blinken secara resmi manyatakan kesiapannya memenuhi undangan pertemuan Menlu Rusia Sergey Lavrov dengan catatan Rusia tak melakukan invasi terhadap wilayah Ukraina.
Melihat upaya negosiasi yang ditempuh secara damai akhir-akhir ini membawa harapan terciptanya perdamaian di antara pihak yang bertikai. Bagaimanapun terlalu mahal ongkos yang harus dibayar jika perang terbuka benar-benar terjadi mengingat interdependency atau ketergantungan Eropa terhadap Rusia dan sebaliknya yang cukup tinggi dan saling menguntungkan. Hubungan itu tentunya akan porak-poranda dan merugikan kedua belah pihak bahkan akan menjalar ke negara-negara lain yang tidak terlibat secara langsung.
Lebih dari itu, seperti dikutip dari international conflict and security law; Essays In Memory Of Hilaire Mccoubrey bahwa perang adalah kejahatan kemanusiaan yang amat dahsyat karena di dalam praktiknya banyak sekali terjadi pelanggaran terutama HAM hal itu sebagaimana terjadi pada PD I dan II yang telah melibatkan bangsa-bangsa Eropa. Jus ad bellum dan jus in bello dalam perang adalah sebuah kenisyaan. Nah Jadi bagaimana, masih menyimpulkan perang Rusia dan Ukraian benar-benar pecah.
Penulis:
Yaomi Suhayatmi Jurnalis MNC Media-Pemerihati Isu Ekonomi Politik Internasional
(Fakhrizal Fakhri )