JAKARTA - Perang Rusia dan Ukraina telah memasuki hari ke-23. Perang dahsyat tersebut banyak menimbulkan korban jiwa di kedua belahpihak.
(Baca juga: Rusia Penjarakan 15 Ribu Warganya karena Unjuk Rasa Tolak Invasi ke Ukraina)
Ketua DPP Partai Perindo Bidang Hankam, Intelijen dan Siber Dr. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati MSi membeberkan dampak perang tersebut secara global dan nasional. Pasalnya, Uni Eropa dan Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi untuk Rusia.
“Bagi Rusia, sanksi ekonomi Barat tidak akan berdampak signifikan, apalagi sanksi saat ini lebih rendah dibandingkan tahun 2008 dan 2014,” kata Susaningtya Nefo Handayani Kertopati MSi dalam webinar Partai Perindo, Jumat (18/3/2022).
Penulis dan pengamat di bidang komunikasi politik, intelijen, pertahanan dan keamanan ini melanjutkan, Rusia dengan cadangan nasional ekonomi besar, rasio utang terhadap PDB yang rendah, memiliki alternatif untuk SWIFT, stabilitas politik - ekonomi yang terjaga, penggunaan dolar yang tidak signifkan, dan hubungan dengan Tiongkok menjawab bahwa sanksi tidak akan signifikan.
Hal ini kata dia senada dengan analisis Ekonom George Tsebelis, berjudul Are Sanctions Effective: A Game Theory Analysis?
“Bahkan, jika terlalu keras terjadi dilema karena Eropa memiliki ketergantungan ekspor gas Rusia. Selain itu, Rusia juga salah satu pemasok gandum terbesar di dunia,” ujarnya.
Dia melanjutkan, masyarakat Indonesia adalah pengkonsumsi gandum dalam dalam bentuk roti, kue dan mi dalam jumlah besar.
“Dan sebagai produsen mie instan terbesar di dunia, Indonesia mengimpor gandum dalam jumlah yang signifikan mencapai 31,34 ribu ton bernilai Rp169 miliar.
Olehh karena itu, konflik ini akan mempengaruhi rantai pasokan gandum dan distribusi gandum internasional yang berpotensi terjadinya kenaikan harga komoditas tersebut.
Lebih lanjut, suplai energi Indonesia berasal dari impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor minyak dan gas (migas) Indonesia mencapai US$196,20 miliar (Rp 2.805 triliun) atau meningkat 38,59 persen dibandingkan 2020. Kenaikan harga energi global dapat memperdalam defisit neraca perdagangan migas Indonesia dan memicu inflasi.