Pemerintah Indonesia sendiri mengacu pada UU No.5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mendefinisikan bahwa segala tindakan yang berbentuk fisik maupun psikis yang bertujuan untuk menimbulkan teror, menimbulkan korban jiwa, menimbulkan kerusakan dan/atau kehancuran terhadap fasilitas umum, fasilitas internasional, fasilitas lingkungan hidup, objek-objek vital dengan motif. Motif-motif tersebut antara lain ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Kebanyakan dari praktek-praktek terorisme di Indonesia dilatarbelakangi oleh ekstremisme atau radikalisme. Dengan kesemuanya itu bertujuan untuk gerakan politik kekuasaan menggoyang pemerintahan yang sah dan berdaulat. Dengan cara-cara mendistorsi dan mempolitisasi agama, kelompok-kelompok ekstrim itu antara lain ingin mendirikan negara agama versi mereka, serta ingin memisahkan diri dari NKRI.
Pada 2019 lalu, indeks potensi radikalisme di Indonesia berada pada angka 38,4% yang kemudian pada tahun 2021 sudah turun di angka 12.2%. Dengan parameter-parameter tertentu, aparat keamanan baik itu kepolisian maupun intelejen dapat menggunakan data tersebut sebagai latar belakang kontra-terorisme dan kontra-radikalisme yang ada di Indonesia.
Salah satu gejala yang sangat jelas dari kelompok-kelompok radikal itu tadi adalah karena menolak Pancasila sebagai ideologi negara, dan cenderung menginginkan agama sebagai azas tunggal kenegaraan. Kelompok-kelompok radikal itu juga cenderung menghasut dan memfitnah kelompok-kelompok lain yang dianggap tidak sejalan dengan mereka.