Aparat keamanan dan intelejen Indonesia juga memahami bahwa aksi-aksi teror yang ada di Indonesia maupun di seluruh dunia bukanlah merupakan motif keagamaan, namun motif politik dan kekuasaan. Buktinya banyak juga aksi terorisme seperti penembakan yang terjadi di New Zealand pada Maret 2019 pelaku nya merupakan warga negara Australia dan kebetulan beragama Kristen. Atau misalnya gerakan-gerakan seperatis Macan Tamil, kasus kekerasan ekstrimis Hindu di India, serta perlakuan ekstrimis Buddha di Myanmar, menunjukkan bahwa kesalahan bukan pada nilai agamanya. Namun, lebih kepada distorsi dan politisasi dari keluhuran nilai-nilai agama yang suci untuk dijadikan alasan berlaku teror.
Indonesia juga melihat bahwa paham seperti Liberalisme, Sekularisme, Kapitalisme, Khilafah-isme, Wahabisme, dan lain sebagainya merupakan ancaman yang nyata di kemudian hari. Ideologi-ideologi yang menyimpang dari Pancasila merupakan potensi bahaya yang suatu waktu akan mencemarkan pemikiran masyarakat Indonesia untuk saling beradu dan berpecah belah.
Masyarakat Indonesia sendiri melihat polemik isu di Xinjiang sebetulnya juga menyadari bahwa lebih banyak kasus riil pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS dan sekutunya di negara-negara muslim. Sehingga, melihat isu Xinjiang, masyarakat Indonesia cenderung bergantung pada ekspos pemberitaan yang ada semata. Namun, kalau masyarakat jeli, maka mereka akan mengetahui bahwa pemberitaan-pemberitaan terhadap isu-isu Xinjiang merupakan siklus lama yang dimainkan oleh AS dan sekutunya untuk menutupi kekejian perlakuan mereka terhadap warga sipil muslim di banyak negara Islam seperti Iraq, Afghanistan, Pakistan, Suriah, Libya, dan lain sebagainya.
Penulis: Harryanto Aryodiguno, Ph.D (Dosen jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang), Wasekjen VI bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo.
(Rahman Asmardika)