Dua pekan kemudian, Amir Sjarifuddin secara terbuka mengumumkan bahwa dia sudah "menjadi komunis" sejak 1935. "Dia bergabung dengan Partai Komunis Ilegalnya Musso di Surabaya," tulis Kahin.
Beberapa bulan kemudian, meledaklah peristiwa Madiun 1948, yang menurut sejarah resmi, disebut sebagai pemberontakan PKI di Madiun. Dalam pusaran itulah, Amir berada di pihak yang kalah — dan berakhir dengan kematiannya yang tragis.
"Saya tidak setuju, dia [Amir Sjarifuddin] dianggap pihak paling bertanggungjawab dalam 'peristiwa Madiun'," kata Yunantyo.
Cara pandang berbeda atas sosok Amir, seperti pernyataan Yunantyo di atas, rasanya tidak mungkin disuarakan secara terbuka pada rentang waktu rezim Orde Baru berkuasa.
Di masa Orde Baru, seperti ditulis sejarawan asal Prancis, Jacques Leclerc dalam buku Amir Sjarifuddin, antara Negara dan Revolusi (1996), sosoknya memang diharamkan untuk 'ditampilkan' di depan umum.
Jacques Leclerc mencontohkan majalah Prisma dalam November 1982, menerbitkan ringkasan biografinya yang ditulis sangat hati-hati, terancam dibreidel oleh Kementerian Penerangan.
Lalu, disertasi pendeta Frederiek Djara Wellem, di bawah bimbingan pendeta Belanda, Th van den End, tentang pemikiran keagamaan Amir, Amir Sjarifoeddin, Pergumukan Imannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan, yang telah terbit oleh penerbit Kristen Sinar Harapan tahun 1984, terpaksa harus dihancurkan ketika izin peredarannya ditolak pemerintah.
Namun setelah ambruknya rezim Suharto, sejumlah pihak mempertanyakan sejarah resmi yang dianggap meminggirkan Amir dari pentas sejarah nasional. Pada Desember 2008, misalnya, digelar diskusi untuk menggugat narasi sejarah tunggal sosok Amir.
Di acara itu, para peserta diskusi juga menyayangkan eksekusi mati atas pria kelahiran 1907 itu. "Ini tak perlu terjadi, apabila para pemimpin seperti Sukarno melihat peristiwa Madiun secara jernih," kata Wilson, ketua panitia acara diskusi, saat itu.
Anak bungsu mendiang Amir Sjarifuddin, Helen Lucia, hadir pula dalam acara itu. Namun ketika itu dia menolak diwawancarai BBC Indonesia. Belakangan, persisnya pada November 2015, ada wacana dari sejumlah pihak agar ada upaya supaya Amir Sjarifuddin mendapatkan status pahlawan nasional dari pemerintah.
Pemberitaan itu menyebutkan akan dibentuk kepanitiaan untuk menggolkannya, yang antara lain, dipimpin oleh Sabam Sirait, Bert Supit dan Jopie Lasut. Intinya, mereka diberi mandat mempersiapkan dokumen-dokumen seputar peranan Amir.
Belum jelas sampai di mana tahapannya, namun salah-seorang inisiatornya, Bert Adriaan Supit, tetap menyokong apabila Amir Sjarifuddin diusulkan sebagai pahlawan nasional.
"Amir [Sjarifuddin] adalah salah-satu tokoh dalam membentuk Republik Indonesia, "kata Bert Adriaan Supit kepada BBC News Indonesia beberapa waktu lalu.
Bert Supit, yang pernah menjadi salah-seorang ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 1989-1994, menganggap "semua yang mensponsori kemerdekaan Indonesia, semua itu adalah pahlawan."
Pria kelahiran 1934 asal Sulawesi Utara ini juga menilai "Amir sebenarnya seperti Sjahrir, dan lain-lain, hanya dia memang terjebak dengan Musso. "Jika ada yang menyebut Amir adalah komunis, Bert Supit termasuk pihak yang meragukan.
"Saya pikir dia bukan seorang komunis sejati," ujarnya dalam wawancara melalui sambungan telepon.
Dia meyakini Amir mengikuti pikiran dan iman Kristen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. "Oleh sebab itu, sosialisme Amir Sjarifuddin kuat sekali berdasarkan iman."
"Dia sangat agresif memperjuangkan hak-hak manusia yang lemah. Dia itu patriotik."
Dari perjalanan riwayat hidupnya, sepengetahuan Adriaan, dia terlibat dalam peristiwa Madiun "tidak sepenuh hati". "Emosi saja," katanya.
"Jadi sama saja dengan Mohammad Natsir [pemimpin Masyumi], dia kan dikaitkan dengan [pemberontakan] PRRI [di Sumatera]. Kalau itu dianggap suatu pemberontakan, tapi akhirnya diangkat sebagai pahlawan nasional."
Perlu ruang terbuka, ruang dialog untuk membicarakan sejarah secara terbuka
Andi Achdian, sejarawan dari Universitas Nasional mengatakan, sebagai sejarawan, dirinya selalu berharap sejarah itu merupakan tempat untuk berdialog, bukan suatu doktrin demi mendapatkan sesuatu yang utuh.
Semua orang punya sisi gelap. Jadi ia kira yang paling penting adalah apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai yang bersifat demokratis dan adil serta nilai-nilai ideal lainnya.
Problemnya di Indonesia sekarang sejarah adalah suatu pengetahuan yang lekat dengan kekuasaan. Dia dijaga dari unsur-unsur yang bisa mengotori kekuasaannya.
Dalam beberapa konteks, sosok-sosok figur pahlawan sifatnya bisa relatif. Dari situasi politik Indonesia sekarang, yang melihat komunisme sebagai suatu trauma, atau ketakutan terhadap komunisme, itu adalah konsekuensinya.
Hal itu mengindikasikan bahwa pengetahuan sejarah kita masih bermasalah dalam tradisi demokrasi. Nilai tentang pemberontak atau pahlawan itu juga cap warisan Orde Baru, yaitu tidak berkhianat kepada negara. Padahal, cara pandang seperti itu sangat relatif dalam beberapa kasus.
Persoalannya bukan pada pahlawannya, karena mereka sudah tiada. Problematiknya adalah tingkat pengetahuan sejarah kita sendiri yang perlu diperbaiki. Pengetahuan sejarah kita masih istana sentris.
Jalan keluarnya, saya kira tetap perlu ruang terbuka, ruang dialog untuk berbicara tentang sejarah masa lalu. Dan tradisi pemberian gelar setiap tahun itu juga bermasalah, karena seolah-olah mengejar target untuk mendapatkan pahlawan baru.
Lebih baik membiarkan masyarakat sendiri menentukan pahlawannya. Tentu di sini membutuhkan kemampuan dialogis yang luas. Hal penting lainnya adalah mampu membicarakan sejarah lebih terbuka.
Amir Sjarifuddin menurutnya adalah tokoh penting. Dan ini sebuah fakta bahwa Amir berperan dalam pembentukan sebuah Republik yang merdeka, terlepas ada akhir tragis dalam kehidupannya. Jadi, Amir berjasa bagi Republik itu adalah fakta, kemudian bagaimana kita menilainya sebagai pahlawan, itu persoalan politik Indonesia.
Fakta keras itu yang lebih penting tampil, yaitu bagaimana Amir menjalankan perannya bagi terbentuknya Republik yang merdeka.
(Arief Setyadi )