Peredaran umbul-umbul bergambar eks ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini, rupanya, merupakan salah-satu kampanye agar dia mendapat gelar pahlawan nasional. "Ini memang bagian sosialisasi untuk memperkenalkan beliau adalah pahlawan bangsa," kata Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II, kepada BBC News Indonesia, Minggu Agustus 2020 lalu.
Pada waktu hampir bersamaan, Anshari dkk juga mendatangi Kantor Dinas Sosial provinsi setempat, membahas pengusulan kembali pencalonan itu pada tahun ini atau maksimal paling lambat 2021, setelah upaya pertamanya ditolak oleh Kementerian Sosial. Anshari memang telah menempuh jalan panjang untuk 'memulihkan' nama Sultan Hamid dari tuduhan terlibat peristiwa kudeta Westerling pada 1950.
Melalui penelitian tesis magisternya di Universitas Indonesia, dia menyimpulkan bahwa pria yang meninggal pada 1978 itu hanya berniat, tetapi tidak pernah melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS pada 1950. Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950.
"Dia bukan orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas Divisi Siliwangi di Bandung," katanya.
Dalam berbagai kesempatan, Anshari dan rekannya sesama intelektual dari Kalimantan Barat, Turiman Fachturrahman, juga terus memunculkan peran sentral Sultan Hamid II dalam merancang lambang negara Burung Garuda Pancasila - yang selama ini seperti dihilangkan dari sejarah resmi.
Turiman, melalui tesis masternya. menemukan bukti-bukti otentik yang menguatkan peran penting Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila. Bersama dokumen terkait, Anshari dan Turiman melampirkan temuannya itu sebagai bahan pengusulan pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional kepada Kementerian Sosial. Hingga Kemensos mengeluarkan keputusan bahwa Sultan Hamid "tidak memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional".
Alasannya, pria kelahiran Pontianak tahun 1913 itu dianggap terlibat kudeta Westerling, berniat membunuh Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX, serta bukanlah perancang tunggal lambang Burung Garuda. "Padahal semuanya sudah kami anulir melalui penelitian kami dan dokumen-dokumen yang kami miliki," akunya.
Belakangan, tuduhan terkait masa lalu Sultan Hamid itu disuarakan kembali oleh politikus dan mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendropriyono. Dia menyebut eks ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini sebagai "pengkhianat bangsa dan bukanlah pejuang". Untuk itulah, dia menyebut mantan menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama ini "tidak layak menjadi pahlawan".