Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Sepak Terjang Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Pahlawan atau Pengkhianat?

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Jum'at, 04 November 2022 |05:04 WIB
Sepak Terjang Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Pahlawan atau Pengkhianat?
Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin (Foto: BBC Indonesia)
A
A
A

Dalam tayangan di Youtube, Hendropriyono juga menyoroti sikap Sultan Hamid yang dianggapnya "tidak senang" perubahan bentuk negara dari federal (Republik Indonesia Serikat) menjadi kesatuan. "Dia ingin tetap federalis, dia ingin tetap menjadi sultan," katanya.

Seperti tercatat dalam sejarah, perubahan bentuk negara dari federal ke kesatuan, diawali peristiwa Mosi Integral Natsir - Mohammad Natsir adalah ketua umum Partai Masyumi - di parlemen sementara RIS, 3 April 1950, yang diawali tuntutan di sejumlah daerah untuk kembali kepada negara kesatuan.

Puncaknya, Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1950 membubarkan Negara RIS dan kembali kepada Negara Kesatuan. Bagaimanapun, ucapan Hendropriyono di atas membuat berang keluarga Besar Sultan Hamid II. Mereka kemudian melaporkan Hendropriyono ke Polda Kalbar karena dianggap "melukai" keluarga Sultan Hamid II.

Senada dengan Hendro, sejarawan Anhar Gonggong, yang juga dipercaya sebagai Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (TP2GP), mempertanyakan apa yang disebutnya sebagai "patriotisme" Sultan Hamid II. Dia merujuk pada dokumen yang menyebutkan bahwa Sultan Hamid II "menandatangi sebagai mayor jenderal dan ajudan istimewa Ratu Belanda Wilhelmina pada 1946."

"Kita sedang dikejar-kejar Belanda mau dibunuh Belanda, Sultan Hamid menerima jabatan itu. Di mana patrotismenya?" ujar dalam diskusi daring, pertengahan Juli lalu.

Anhar juga menekankan bahwa Sultan Hamid pernah dipidana penjara 10 tahun terkait rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950.

"Ada persyaratan UU, tidak mungkin dia diterima [sebagai pahlawan nasional], karena pernah dihukum selama 10 tahun," katanya.

Peneliti dan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, tidak terlalu yakin pemerintah akan menyetujui pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional. Selama ini, menurutnya, pemerintah atau presiden "menghindari kontroversi" saat memberikan gelar pahlawan. "Dia tidak mempunyai riwayat hidupnya yang kontroversi, seperti di dalam kasus Sultan Hamid II," kata Asvi kepada BBC News Indonesia beberapa waktu lalu.

Kontroversi itu, misalnya saja, seputar hukuman pidana penjara atas dirinya serta polemik tentang peranannya sebagai perancang tunggal lambang negara Burung Garuda Pancasila. "Saya sendiri beranggapan, bahwa dia bukan satu-satunya yang berjasa untuk membuat lambang negara itu," ujarnya.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement