Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Sepak Terjang Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Pahlawan atau Pengkhianat?

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Jum'at, 04 November 2022 |05:04 WIB
Sepak Terjang Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Pahlawan atau Pengkhianat?
Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin (Foto: BBC Indonesia)
A
A
A

Tentu saja, penilaian seperti ini dipertanyakan Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II. Menurutnya, "faktanya yang merancang adalah Sultan Hamid II." 

"Entah kemudian ada saran atau masukan antara lain oleh Ki Hadjar Dewantara, Sukarno, dan dilukis ulang oleh Dullah, itu masukan saja."

Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, 5 Juni 2015 lalu, peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin, mengatakan: "Sultan Hamid sudah resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda," katanya.

Sebagai menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno untuk merancang gambar lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia yang diketuainya. "Meskipun (burung Garuda) itu belum berjambul, masih botak. Dan cengkeraman (atas pita) masih terbalik," kata Rusdi Hoesin, kala itu.

Namun fakta ini, menurutnya, tidak banyak diungkap setelah sang pencipta lambang negara itu menjadi pesakitan. Perihal tudingan Hendropriyono bahwa Sultan Hamid "anti-negara kesatuan", Anshari mengutip isi pledoi Hamid pada 1953: "Saya bukan menolak negara kesatuan, akan tetapi cara atau proses-proses perubahan di dalam parlemen RIS."

"Bagaimana saya merestui bentuk negara ini [kesatuan] dengan cara-cara inkonstitusionil. Kalau melalui referendum, saya orang pertama yang mendukung negara kesatuan," kata Anshari, mengutip Sultan Hamid.

"Ini bentuk nasionalisme dia," tambahnya, dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020 lalu.

Baik Anshari atau Turiman kemudian menganggap tidak ada yang salah dengan pilihan Sultan Hamid atau pemimpin lainnya yang menyokong konsep federal. Mereka juga mempertanyakan narasi sejarah resmi yang selama ini menganggap Majelis Permusyawaratan Federal alias atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) - didirikan Juli 1948 - sebagai "boneka ciptaan Belanda".

Buku Sejarah yang Hilang (2015), karya Mahendra Petrus, mengutip buku Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006) karya sejarawan Leirissa RZ, gagasan awal BFO berasal dari inisiatif Anak Agung Gde Agung yang ingin menghilangkan kesan keberadaan negara-negara bagian semata merupakan ide Belanda.

Selain itu, menurut Hamid, pembentukan wadah bernama BFO juga berangkat dari keprihatinan atas konflik RI-Belanda yang tidak segera terlihat ada titik temu, tulis Mahendra Petrus.

"Akan tetapi ini [BFO] - yang dipimpin Sultan Hamid II - untuk menjembatani kepentingan antara Indonesia, yaitu kaum Republiken, kemudian kaum federasi, dengan Belanda, agar ditemukan solusi bersama untuk mendapatkan kedaulatan penuh," kata Anshari.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement