Hal serupa disampaikan Departemen Luar Negeri Filipina (DFA).
"Upaya terbaru untuk melegitimasi kedaulatan dan yurisdiksi yang diklaim oleh China atas fitur-fitur dan zona maritim Filipina tidak memiliki dasar di bawah hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982," ujar pernyataan Departemen Luar Negeri Filipina (DFA).
Pengadilan Arbitrase Permanen pada tahun 2016 telah membatalkan sembilan garis putus-putus, tambah DFA.
"Oleh karena itu, Filipina menyerukan kepada China untuk bertindak secara bertanggung jawab dan mematuhi kewajibannya di bawah UNCLOS dan Putusan Arbitrase 2016 yang bersifat final dan mengikat," kata DFA seperti dikutip dari Manila Times.
Dalam keterangan kepada media, Juru Bicara Kemenlu China, Wang Wenbin mengatakan agar tidak berlebihan dalam menafsirkan peta teranyar versi Beijing ini.
Wang mengatakan rilis peta standar 2023 merupakan "praktik rutin dalam pelaksanaan kedaulatan China sesuai dengan hukum".
"Kami berharap pihak-pihak terkait tetap objektif dan tenang, serta menahan diri untuk tidak menafsirkan masalah ini secara berlebihan," kata Wang kepada media, Rabu (30/8/2023).
Bagaimana respons pemerintah Indonesia?
Dalam keterangan terbaru, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan posisi Indonesia selalu konsisten pada hukum UNCLOS 1982.