“Kombinasi itu, brigade tertentu yang memakan banyak korban dan perwira tinggi dalam jumlah besar, membuatnya sangat menderita. Kami terluka hari ini,” lanjutnya.
“Selalu sulit ketika tentara terbunuh, tetapi ketika tingkat komandonya seperti ini, Anda akan sangat terpukul. Ini adalah komandan yang memimpin ratusan tentara,” tambahnya.
Eisin menjelaskan insiden ini mengingatkan kita pada sifat perang yang tidak dapat diprediksi yang saat ini dilancarkan Israel di Gaza.
Fase pertama operasi ini terbatas pada serangan udara dan artileri, yang menyebabkan banyak korban di kalangan warga Palestina, namun tetap menjaga keamanan tentara Israel karena IDF memiliki keunggulan udara atas Gaza.
Tapi begitu IDF mendarat, keseimbangannya agak berubah. Menurut IDF, Hamas telah menghabiskan waktu lama untuk mempersiapkan perang ini, membangun sistem terowongan yang luas, memasang perangkap dan pertahanan. Ini mungkin salah satu alasan mengapa invasi ini lebih mematikan bagi IDF dibandingkan operasi darat pada 2014 di Gaza, yang berlangsung selama 51 hari dan menyebabkan 67 tentara Israel tewas.
“Dalam peperangan perkotaan, keuntungan selalu ada pada pihak yang bertahan, itulah sebabnya Hamas membangun dirinya di arena perkotaan dan menciptakan arena bawah tanah di bawah wilayah perkotaan tertentu,” kata Eisen, seraya menambahkan bahwa dalam kasus seperti itu, pasukan penyerang perlu “menciptakan keunggulan lokal” untuk berhasil.
“Kemarin tidak berhasil,” katanya.
IDF mengatakan unit yang terlibat dalam insiden pada Selasa (12/12/2023) adalah Brigade Golani, sebuah unit infanteri yang beroperasi di lingkungan Shejaiya di Gaza timur tengah.
Dalam sebuah pernyataan pada Rabu (13/12/2023), IDF mengatakan para pejuang Hamas melemparkan bahan peledak ke arah tentara dan menembak mereka dari dalam sebuah bangunan tempat tinggal di mana infrastruktur teror bawah tanah juga berada.