Upaya Menghadapi Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim yang begitu besar merupakan tantangan bagi sektor pertanian. Peran aktif berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, melalui upaya mitigasi penggunaan varietas padi rendah emisi.
Sejak 2020 hingga 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kelas I Pulau Baai, Bengkulu melaksanakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) di 5 dari 10 kabupaten/kota di Bengkulu.
Literasi iklim itu untuk mendukung ketahanan pangan, dalam rangka adaptasi perubahan iklim dengan berkolaborasi bersama Kementerian Pertanian, Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian (BPSIP) Bengkulu, Pemerintah Daerah dan petani.
Di tahun 2020, SLI Operasional di Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang. Komioditi tanaman kopi dan Jagung Manis. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim 58.58 ke 78.78 %. Dilanjutkan pada tahun 2021, SLI Operasional, dengan komoditi tanaman kopi.
Lalu, di tahun 2021 SLI Operasional di Desa Arma Jaya, Kecamatan Arga Makmur, Kabupaten Bengkulu Utara. Komioditi tanaman Padi. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim panen 8 ton, rata-rata 5 ton.
Di tahun 2022 SLI Operasional, di Desa Sari Mulyo, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma. Komoditi padi dengan tema pertanian organik, ramah pestisida dengan hasil maksimal. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim 71 ke 74 %. Panen 7.2 ton dan 8.1 ton, rata-rata 5 ton.
Di tahun 2023 SLI Operasional, di Desa Masmambang, Kecamatan Talo, Kabupaten Seluma. Komiditi tanaman padi. Dengan pemberdayaan petani dalam pemasyarakatan pengendalian hama terpadu mewujudkan petani yang tangguh beradaptasi dengan iklim. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim 62.5 ke 63.4 %. Panen 6.0 ton, rata-rata 4 ton.
Terakhir di tahun 2023 SLI Tematik, di Dinas Pertanian, Kabupaten Rejang Lebong. Mengangkat tema pemahaman informasi mengenai iklim dan perubahan iklim. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim 73.8 ke 90.2 %.
''Penerapan keberhasilan tanaman tergantung dari faktor tanah, tanaman dan iklim. Untuk itu faktor iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya keberhasilan/kegagalan panen,'' kata Kepala BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Pulau Baai, Bengkulu, Klaus Johannes Apoh Damanik, Senin 15 Juli 2024.
Penerapan informasi iklim/musim, jelas Damanik, sangat diperlukan untuk memperhitungkan kebutuhan tanaman akan pentingnya iklim, terutama curah hujan. Di mana manajemen pengairan perlu diperhatikan untuk disesuaikan saat fase-fase pertumbuhan/ perkembangan tanaman.
''Dengan mengetahui iklim/musim yang akan berlangsung melalui prakiraan yang dibuat BMKG, maka penerapan pola tanam perlu dilakukan. Sehingga hal ini dapat mencegah kerugian/gagal panen,'' sampai Damanik.
Adaptasi/mitigasi, jelas Damanik, merupakan langkah terbaik untuk perubahan iklim yang nyata telah terjadi. Semua sektor pembangunan terdampak perubahan iklim. Salah satunya sektor pertanian. Untuk itu, petani perlu mengetahui dan memahami perubahan yang terjadi disekitarnya terutama berkaiatan dengan iklim.
Damanik mencontohkan, adaptasi yang perlu dilakukan petani. Antara lain pemilihan bibit/benih yang bisa menyesuaikan dengan iklim/musim pada saat itu, dan pengaturan pola tanam disepanjang musim yang berlangsung saat itu. Iklim mempengaruhi langsung terhadap kelangsungan hidup dari unsur kecukupan energi untuk pertumbuhan/perkembangan tanaman.
''Kita juga harus memperhatikan perkembangan yang dratis hama/penyakit yang diprakirakan akan menyerang tanaman tersebut. Sehingga pola tanam yang memperhatikan komoditi iklim dengan menggunakan bibit yang unggul adalah solusi terbaik untuk menyesuaikan keadaan iklim dan menekan perkembangan hama/penyakit,'' sampai Damanik.
Adaptasi tersebut sebagai upaya meningkatkan pemahaman petani dan petugas penyuluh pertanian, terhadap data dan informasi iklim yang dapat langsung diaplikasikan pada aktivitas pertanian. Pengelolaan lahan sawah ramah lingkungan dengan menggunakan pupuk organik dan pestisida nabati.
Edukasi cara mengurangi penggunaan karbon dengan pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan. Salah satunya mengurangi pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik dan pupuk pestisida nabati.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi menjelaskan, kegiatan Unit Pengelola Pupuk Organik (UPPO) menjadi salah satu upaya menghadapi perubahan iklim.
Di mana petani dilatih tata cara membuat pupuk organik dengan memproduksi pupuk kompos (organik) secara mandiri. Dewi mencontohkan, pelepah sawit, daun jagung dan kotoran hewan ternak dapat diolah menjadi pupuk organik.
''Cara ini memanfaatkan potensi di lingkungan sekitar. Sehingga mengurangi pemakaian pupuk kimia guna memperbaiki struktur tanah,'' jelas Dewi, Kamis 18 Juli 2024.
Kemudian, dari DTPHP Provinsi Bengkulu, mengadakan sekolah lapang. Ini sudah diterapkan sejak tahun 2014. Dari sini petani diberikan inovasi go organik ramah lingkungan.
''Sosialisasi juga ditekankan dengan cara meningkatkan tutupan lahan dengan menanami tanaman kacang-kacangan guna mengurangi penguapan unsur kimia,'' sampai Dewi.
Skenario perubahan iklim terutama adalah terkait dengan peningkatan konsentrasi CO₂ dan peningkatan suhu rata-rata. Di samping itu kemungkinan terjadi anomali iklim. Misal pola hujan atau kekeringan yang tidak beraturan.
Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Yansen mengatakan, keanekaragaman hayati flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) berinterkasi dengan kondisi lingkungan, dan dalam jangka waktu panjang beradaptasi dengan kondisi lingkungan tertentu.
Ada flora dan fauna yang dapat hidup di kondisi lingkungan yang luas. Misalnya rata-rata suhu, kelembaban yang rentangnya besar, disebut dengan generalis. Tapi ada tumbuhan dan hewan yang hidup di kondisi yang spesifik yang disebut spesialis.
Bagi tumbuhan, kata Yansen, secara umum peningkatan konsentrasi CO₂ tidak menjadi masalah, karena merupakan sumber karbon bagi tumbuhan. Namun kenaikan suhu, penurunan kelembaban, perubahan pola hujan, kekeringan akan dapat berdampak.
''Keanekaragaman tumbuhan dan hewan yang spesialis yang misalnya rentang kondisi lingkungannya spesifik, maka ancaman kepunahan atau kematian akibat perubahan iklim akan lebih besar,'' jelas Yansen, Rabu 18 Juli 2024.
''Jenis-jenis yang tahan peningkatan suhu misalnya rumput-rumputan, semak dan spesies invasif akan lebih mudah berkembang. Ini dapat mengurangi keanekaragaman hayati karena adanya kompetisi biologis untuk memanfaatkan sumber daya lingkungan,'' sambung Yansen.
Di lingkungan tropis, tambah Yansen, ada banyak hewan yang memiliki rentang habitat yang tidak terlalu luas. Perubahan lingkungan akan dapat menyebabkan kematian dan kepunahan.
Perubahan tutupan lahan dan peningkatan pemukiman dan aktivitas insdustri, jelas Yansen, dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis tertentu. Yansen menyebut, ada banyak jenis serangga yang dulunya mudah ditemui. Sekarang jarang atau tidak ada lagi.
''Contohnya jenis kupu-kupu, capung, kunang-kunang. Padahal jenis-jenis ini penting sebagai perantara polinasi/penyerbukan tumbuhan untuk regengerasi. Artinya, kepunahan hewan tertentu dapat menyebabkan kepunahan tumbuhan tertentu,'' sampai Yansen.
Perubahan iklim merupakan istilah mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Dampak ditimbulkan bersifat insidental. Mulai dari Banjir, angin topan atau kebakaran hutan.
Perubahan iklim memang terjadi dan dapat mengancam keanekaragaman hayati. Namun ekosistem yang berkembang dalam skala tertentu memiliki kapasitas untuk membantu mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim tersebut.
''Sumber daya genetik yang merupakan komponen keanekaragaman hayati akan diupayakan tetap dipertahankan eksistensinya oleh masyarakat, ketika sumber daya genetik itu memberi manfaat dan disukai manusia. Misalnya padi tua di Sungai Lisai yang sampai saat ini masih eksis,'' jelas Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Prof Mohammad Chozin, Sabtu 27 Juli 2024.