Rentan Bencana
Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mengindikasikan, Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim diyakini akan berdampak buruk terhadap berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan, terutama sektor pertanian dan dikhawatirkan akan mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pertanian, terutama tanaman pangan.
Berdasarkan jurnal Litbang Pertanian 2011, pada masa mendatang pembangunan pertanian akan dihadapkan pada beberapa masalah serius, penurunan produktivitas dan pelandaian produksi yang tentunya membutuhkan inovasi teknologi untuk mengatasinya.
Untuk mencegah dan mengurangi kerentanan dampak perubahan iklim, kata Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran, DLHK Provinsi Bengkulu, Yanmar Mahadi, masyarakat harus melakukan adaptasi dalam pengelolaan pertanian.
Seperti kegiatan penerapan pola tanam (padi-padi-palawija), penerapan pola tanam heterokultural (tumpang sari), model irigasi (irigasi teknis dan non teknis), pemanfaatan lahan pekarangan, pemilihan komoditas tahan iklim.
Lalu, pertanian terpadu (menggabungkan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan yang berkait dengan pertanian dalam satu lahan), pelestarian potensi pangan lokal, budidaya tanaman pangan dan urban farming.
Selain itu, jelas Yanmar, masyarakat harus ada kegiatan mitigasi untuk mengurangi emisi GRK di sektor pertanian. Diantaranya, menerapkan pertanian rendah emisi GRK. Contohnya, luas pola tanam menggunakan pupuk organik dan tidak bakar jerami di sawah.
''Aksi adaptasi mitigasi pada sektor pertanian merupakan kegiatan wajib dalam proklim. Harapannya masyarakat mampu mengatasi permasalahan kerentanan ketahanan pangan, akibat dari keterpaparan perubahan iklim,'' sampai Yanmar, Selasa 16 Juli 2024.
Dampak perubahan iklim memerlukan upaya aktif. Cara mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Mitigasi bertujuan mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian melalui penggunaan varietas rendah emisi serta pengelolaan air dan lahan.
Adaptasi dapat diterapkan. Mulai dari penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman dan salinitas serta pengembangan teknologi pengelolaan air.
Sektor pertanian, sebut Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Yansen, menyumbang emisi GRK melalui tata guna lahan dan aspek budidaya. Dari aspek tata guna lahan, usaha pertanian membutuhkan lahan yang ditanam dengan tanaman musiman (pertanian) ataupun tanaman jangka lama (perkebunan).
Dalam usaha pertanian ini, terang Yansen, kontribusi ke GRK melalui pembukaan lahan. Ketika lahan dibuka dan pohon ditebang maka vegetasi penyerap CO₂ berkurang. Praktik persiapan lahan dengan membakar langsung melepaskan karbon monoksida (CO), di samping gas buang lainnya.
Apabila lahan yang dibuka dan dibakar adalah lahan dengan kandungan bahan organik lebih tinggi, seperti lahan gambut maka karbon yang dilepaskan di udara semakin lebih tinggi.
Dari aspek budidaya, ada banyak budidaya tanaman, misalnya budidaya padi, yang memang akan melepaskan Metana (CH₄) ke udara. Hal ini terkait dengan genangan air dan pembentukan metana oleh mikroba.
''Karena itu, di sektor pertanian perlu diterapkan strategi mitigasi dalam praktik yang berkontribusi terhadap perubahan iklim,'' imbuh Yansen, Rabu 17 Juli 2024.
Yansen mencontohkan manajemen lahan yang berkelanjutan. Seperti meninggalkan praktik pembakaran dalam penyiapan lahan. Budidaya polikutlur antara tanaman musiman atau tahunan. Kopi, misalnya.
Dengan pohon-pohonan itulah salah satu bentuk mitigasi perubahan iklim. Sebab dapat meningkatkan serapan CO₂. Regulasi suhu dan kelembaban juga meningkatkan bahan organik tanah melalui seresah.
Kemudian, mengurangi penggunaan bahan kimia dan meningkatkan penggunaan bahan organik yang ada disistem pertanian.
''Dalam konteks budidaya padi, manajemen irigasi, pengolahan lahan, pengurangan penggunaan bahan kimia serta kemungkinan menanam varietas yang lebih sedikit mengemisi metana dapat menjadi alternatif,'' jelas Yansen.
Emisi GRK dari lahan pertanian didominasi gas metana (CH₄), karbon dioksida (CO₂) dan dinitrogen oksida (N₂O). Dalam budidaya padi CH₄ berasal dari proses dekomposisi (pembusukan) bahan organik secara anaerob (tanpa oksigen), akibat tanah selalu teregenang air.
Sementara CO₂ berasal dari penggunakan input agrokimia (pupuk Urea dan NPK) dan dari respirasi (pernapasan) mikroba. Selama dekomposisi secara aerob terhadap bahan organik.
Kemudian N₂O berasal dari proses denitirifikasi secara anaerob oleh mikroba terhadap pupuk nitrogen (Urea, ZA, dan NPK), maupun pupuk organik yang diaplikasikan. Varietas padi yang bobot kering (biomassa) tanamannya rendah dan rongga akarnya (aerenkim) sempit.
''Beberapa varietas padi, seperti Mekongga, Cigeulis, Membramo dan Inpari 13 dilaporkan menghasilkan emisi CH₄ rendah. Pengairan berselang (intermittent) akan membantu menyeimbangkan gas CO₂ dan N₂O selama proses dekomposisi,'' kata Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Prof Mohammad Chozin, Sabtu 27 Juli 2024.
''Pengurangan penggunaan input agrokimia akan membantu pengurangan emisi kedua gas tersebut dari lahan persawahan. Pembakaran lahan dan penyiapan lahan tanam yang intensif juga perlu dihindari untuk mengurangi emisi CO₂,'' sambung Chozin.