Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Padi Riun, Penjaga Pangan Masyarakat Adat Sungai Lisai 

Demon Fajri , Jurnalis-Minggu, 28 Juli 2024 |13:37 WIB
Padi Riun, Penjaga Pangan Masyarakat Adat Sungai Lisai 
Hasan Mukti (76), Ketua Adat Desa Sungai Lisai, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong (Foto: Okezone/Demon)
A
A
A


Produksi Gabah 
Terhitung tahun 2021. Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong, mengajak petani di daerah ini untuk IP 200. Alhasil, pada tahun 2021, 50 Ha lahan sawah petani mulai melakukan IP 200. Tak sampai disitu di tahun 2022 lahan sawah seluas 300 Ha menerapkan IP 200. 

Sementara di tahun 2023 petani sawah menerapkan IP 200 seluas 1300 Ha. Penerapan IP 200 itu tersebar di Kecamatan Lebong Utara, Amen, Uram Jaya, Lebong Tengah, Lebong Sakti, Lebong Selatan dan Kecamatan Bingin Kuning.  
 
Sebenarnya, kata Kadis Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lebong, Edi Parindo, dari zaman ke zaman petani di Lebong hanya melaksanakan satu kali musim tanam atau IP 100. Tepatnya sekira 1998 ke bawah. 

Namun. Saat ini benih padi sudah bisa panen dalam waktu 3 bulan 10 hari. Berangkat dari itu pemerintah mencanangkan IP 200. Hal tersebut belum dapat menggerakkan petani untuk melaksanakan IP 200. Musababnya. Mitos hama tikus sawah (Rattus argentiventer).  
''Kita secara berangsur mengubah cara berpikir atau mindset petani. Caranya mendampingi masyarakat. Kita hadir setiap saat. Kita yakinkan jika hama tikus bisa dibasmi. Salah satu caranya dengan gropyokan,'' sampai Edi, Minggu 21 Juli 2024.
 
Hamparan lahan persawahan di Kabupaten Lebong mencapai 8.649 Ha. Hamparan sawah itu menjadi tempat bergantung hidup masyarakat di daerah tersebut. Dari luasan tersebut 1300 Ha, sukses menghasilkan gabah tanpa adanya kendala dari hama tikus. 

''Petani menanam benih padi ciherang dan Inpari IR Nutri Zinc pada musim tanam II. Rerata satu Ha menghasilkan gabah 6 hingga 8 ton. Daerah kita menjadi salah satu kabupaten di Bengkulu menyumbang gabah,'' jelas Edi. 


Data BPS Provinsi Bengkulu 2024

Grafis Gabah

Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi mengatakan, total produktifitas gabah di Bengkulu, dari 3 hingga 9 ton/ha/ubinan. 

Hasil gabah 9 ton tersebut berasal dari sentra produksi. Seperti di Kabupaten Bengkulu Selatan, Seluma, Kaur, Lebong, Mukomuko dan Rejang Lebong. Di tahun ini, kata Dewi, Bengkulu menargetkan pruduksi gabah padi 298.715 ton.

Dari target tersebut, jelas Dewi, produksi gabah 174.868 ton. Menyisakan 123.847 ton. Untuk memenuhi target itu maka di Juli 2024, petani di Bengkulu akan turun tanam di sawah seluas 13.356 Ha dan di Agustus 2024, seluas 7000 ha. Dari sini akan menghasilan gabah 96.000 ton, dengan hitungan per ha 4,8 ton.  

''Produktifitas rata-rata per Ha provinsi 4,9 ton. Kalau rata-rata nasional 5,5 ton. Target tahun ini, produksi gabah padi 298.715 ton. Hingga Desember nanti target tersebut akan tercapai,'' kata Dewi, Kamis 18 Juli 2024. 


Kontribusi Sektor Pertanian 
Peningkatan konsentrasi GRK. Yaitu CO₂, CH₄, N₂O, SF6, HFC dan PFC, ini terjadi akibat aktivitas manusia. Seperti pemanfaatan bahan bakar fosil, pengembangan industri, limbah, usaha pertanian dan peternakan dan konversi lahan yang tidak terkendali. 

Aktivitas tersebut mengakibatkan terperangkapnya radiasi di atmosfer, sehingga meningkatkan suhu permukaan bumi secara global. Indonesia pernah dituding sebagai negara terbesar ketiga penghasil GRK dunia, terutama akibat perubahan tata guna lahan dan penggundulan hutan. 

Berdasarkan hasil inventori GRK Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 2006, Indonesia berada diurutan ke 16 dari 20 negara pengemisi GRK terbesar di dunia. 

Sektor pertanian melepaskan emisi GRK ke atmosfer dalam jumlah yang cukup signifikan. Yaitu CO₂, CH₄ dan N₂O. Emisi dari kegiatan produksi padi dan pembakaran bio massa sebagian besar merupakan kontribusi dari negara berkembang. Masing-masing 97% dan 92%. Di mana emisi metana dari padi umumnya berasal dari Asia Selatan dan Asia Timur (82%). 

Emisi dari pembakaran sabana di Afrika, Amerika Latin dan Karibia menyumbang 74% emisi. Dari negara maju, emisi dari peternakan adalah yang tertinggi (52%) dibanding dari negara berkembang.  

Hasil inventori GRK Indonesia dari Second National Communication (UNDP Indonesia 2009) menunjukkan, kontribusi emisi sektor pertanian yang jauh lebih rendah. Yaitu 51,20 Mt CO₂e atau hanya 12% dari total emisi Indonesia (436,90 Mt CO₂e). 

Emisi GRK diprediksi akan terus bertambah pada masa mendatang, karena meningkatnya  kebutuhan akan pangan. Oleh karena itu, selain tetap peduli dengan berusaha mengurangi emisi GRK dari sektor pertanian melalui strategi mitigasi. 

Secara simultan perlu pengkajian dan analisis tentang kapasitas dan laju penyerapan GRK pada sektor pertanian, serta penilaian multifungsi pertanian terhadap iklim dan lingkungan. 

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Yansen menyampaikan, banyak riset yang meneliti bagaimana dinamika pertanian terhadap perubahan iklim. Pertanian salah satu sektor paling terdampak terjadi perubahan iklim, karena mempengaruhi pola tanan dan produktivitas hasil pertanian.

Disisi lain, sektor pertanian adalah penyumbang emisi. Sektor pertanian diberbagai tempat seperti Bengkulu memiliki keterbatasan lahan, menyebabkan terjadi okupasi terhadap area hutan yang akan mengurangi kemampuan vegetasi untuk menyerap karbon. 

''Padahal peningkatan peyerapan karbon oleh vegetasi merupakan bagian dari mitigasi perubahan iklim,'' ungkap Yansen, Rabu 17 Juli 2024.

 

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement