Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Padi Riun, Penjaga Pangan Masyarakat Adat Sungai Lisai 

Demon Fajri , Jurnalis-Minggu, 28 Juli 2024 |13:37 WIB
Padi Riun, Penjaga Pangan Masyarakat Adat Sungai Lisai 
Hasan Mukti (76), Ketua Adat Desa Sungai Lisai, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong (Foto: Okezone/Demon)
A
A
A

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Provinsi Bengkulu berupaya menurunkan emisi GRK melalui dua langkah. Seperti sektor kehutanan dan penggunaan lahan Forestry and Other Land Use (FoLU). Caranya melalui kegiatan peningkatan cadangan karbon (PCK). 
Lalu program pemanfaatan potensi sumber daya hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, pencegahan penurunan cadangan karbon (PPCK) dan program perlindungan dan konservasi sumber daya hutan.

Kegiatannya penghijauan lingkungan, pengembangan perbenihan tanaman hutan, penanaman pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), persemaian permanen dan pengadaan bibit/benih tanaman kehutanan.

Pengurangan emisi tersebut sebagian disumbangkan dari kegiatan program kampung iklim (Proklim). Aksi mitigasi perubahn iklim ditingkat masyarakat di 9 kabupaten/kota di Bengkulu. 

Proklim ini merupakan salah satu kegiatan DLHK Bengkulu yang telah berjalan selama 9 tahun sejak 2014 hingga 2023. Tidak kurang dari 59 desa/kelurahan telah terbentuk kampung iklim. 

Pada tahun 2023 proklim tersebut berlangsung di 16 desa/kelurahan wilayah. Belasan daerah itu sudah teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menggalakkan advokasi GRK. 

Di kampung iklim itu masyarakat diberikan edukasi tata cara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mulai dari gerakan penghijauan hutan, rehabilitasi, pengelolaan sampah serta lainnya. 

Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran, DLHK Provinsi Bengkulu, Yanmar Mahadi mengatakan, proklim merupakan aksi lokal masyarakat terkait adaptasi dan mitigasi, dalam menghadapi dampak perubahan iklim. 

''Tujuannya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di tingkat tapak. Salah satu komponen kegiatannya disektor pertanian,'' kata Yanmar, Selasa 16 Juli 2024.  
Di Indonesia, setiap provinsi berusaha menurunkan emisi GRK. Di Bengkulu menargetkan menurunkan sekira 25 persen dalam jangka waktu 5 tahun. Hal ini disampaikan Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi, Kamis 18 Juli 2024. 

Di Bengkulu, sebut Dewi, emisi dari aktivitas sektor pertanian sekira 1 persen. Sebab dilihat dari luas lahan sawah di daerah ini 50.840 Hektare (Ha). Untuk itu pihaknya telah mengembangkan metode tanam System of Rice Intensification (SRI). 

''Sejak tahun 2014, kita telah mengembangkan metode SRI di daerah sentral produksi padi. Seperti Kabupaten Bengkulu Selatan, Seluma, Kaur, Lebong, Mukomuko, dan Kabupaten Rejang Lebong. Metode ini bisa menekan emisi GRK,'' jelas Dewi. 

Metode SRI, jelas Dewi, dapat menghemat penggunaan input. Seperti benih, penggunaan air, pupuk kimia dan pestisida kimia melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal. Manfaatnya, kata Dewi, lebih hemat air, Kebutuhan air hanya 20-30 persen dari kebutuhan air untuk cara konvensional.

Lalu, memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah. Kemudian, tidak tergantung pada pupuk dan pestisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.

''Metode ini juga menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu kimia serta mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang,'' ujar Dewi.

Kontribusi emisi GRK dari sektor pertanian sebenarnya relatif rendah. Laporan Kementerian PP/Bappenas-LCDI (Low Carbon Development Indonesia) menunjukkan, sektor pertanian menyumbang emisi GRK hanya 13% dari total emisi GRK di Indonesia. 

Namun, kata Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Prof Mohammad Chozin, upaya mitigasi dapat dilakukan agar sumbangan GRK tersebut dapat dikurangi. 

''Misalnya pengurangan dalam penggunaan sarana produksi dari industri agrokimia dan menggantikannya dengan pupuk organik dan biopestisida,'' sebut Chozin, Sabtu 27 Juli 2024. 

Artikel ini merupakan hasil fellowship program “Let’s Talk About Climate: Training Program for Journalist” kerjasama AJI Indonesia dan DW Akademie dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Jerman. Isi seluruh artikel merupakan tanggung jawab penulis.

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement