Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Perindo DPRD Nagekeo Mbulang Lukas mengingatkan, lahan irigasi Mbay memiliki nilai historis dan kultural. Lahan tersebut awalnya diserahkan oleh tiga suku besar yakni Dhawe, Lape dan Nataia sejak tahun 1953, setelah kunjungan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Flores.
Sejak saat itu, kawasan Mbay ditetapkan sebagai lahan irigasi strategis untuk mendukung pertanian masyarakat. Namun, dalam perjalanannya pemerintah daerah justru mengabaikan sejarah dan hak masyarakat adat.
Lahan yang dulu diperuntukkan bagi sawah, kini berubah menjadi kawasan industri garam dan lokasi pembangunan fasilitas militer. Bahkan, sebagian lahan yang memiliki fungsi ritual adat turut terdampak eksploitasi.
"Pemda ingkar janji terhadap tiga suku. Tidak ada klausul yang menyatakan tanah tersebut menjadi milik negara atau milik Pemda," tutur Mbulang.
Selain itu, Fraksi Partai Perindo menyoroti kerusakan situs budaya di Mbay Kiri akibat alih fungsi lahan. Padahal, lokasi tersebut selama ini menjadi tempat ritual adat suku Dhawe, termasuk upacara permintaan hujan dan seremonial tahunan.