Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Ketika Drama Selingkuh Kuasai Linimasa, Bencana Sumatera Kehilangan Suara

Opini , Jurnalis-Jum'at, 26 Desember 2025 |20:14 WIB
Ketika Drama Selingkuh Kuasai Linimasa, Bencana Sumatera Kehilangan Suara
Bencana alam di Sumatera (foto: dok BNPB)
A
A
A

Penulis: Noviana Fazriah – Mahasiswa Magister Komunikasi Korporat Universitas Paramadina

MENJELANG akhir tahun 2025, linimasa publik Indonesia makin riuh, bukan dengan prestasi dan kabar gembira, tapi dengan bencana dan skandal. Selain bencana banjir di Sumatera, saat ini siapa yang tidak tahu kalau saat ini politisi Ridwan Kamil tengah menghadapi perceraian akibat skandal perselingkuhannya? Atau drama perselingkuhan influencer muda, Jule, yang dikabarkan berselingkuh dari selingkuhannya? Atau Inara Rusli yang dituding menjadi simpanan seorang pengusaha?

Drama perselingkuhan yang entah melibatkan publik figur, atau selebritas media sosial tiba-tiba menjadi viral dan menguasai ruang percapakan publik. Potongan chat, rekaman CCTV, hingga klarifikasi emosional disajikan berlapis – lapis, diproduksi berulang – ulang, dan dikomentari tanpa henti. Publik semakin larut, media ikut mengalir mengikuti arus skandal, dan algoritma bekerja dengan sempurna. Fenomena ini bukan sekadar soal selera publik, melainkan persoalan komunikasi kekuasaan dalam ruang publik. 

Media dan platform digital, sadar atau tidak, berperan sebagai penentu agenda (agenda-setting). Dalam teori agenda setting yang dipekenalkan oleh McCombs dan Shaw, media tidak selalu memberi tahu publik mengenai apa yang harus dipikirkan, tetapi sangat efektif menentukan apa yang perlu dipikirkan. Jadi ketika drama perselingkuhan mendominasi halaman utama dan linimasa, isu struktural seperti banjir Sumatera, deforestasi, serta bantuan kemanusiaan terdorong ke pinggir. 

Intensitas, frekuesi, dan penempatan isu membentuk persepsi tentang tingkat kepentingannya. Publik akhirnya membicarakan apa yang terus-menerus disajikan, bukan apa yang paling berdampak. Isu lingkungan kalah pamor bukan karena tak penting, melainkan karena kalah panggung.

 

Ketika Bencana Mulai Kehilangan Narasi

Bencana banjir di Sumatera yang merengut 1,129 jiwa dan membuat hampir 500,000 penduduk kehilangan rumah, bukan hanya sekadar peristiwa alam. Ini adalah hasil dari rangkaian keputusan pembuat kebijakan. Mulai dari izin konsesi, pembiaran alih fungsi lahan, lemahnya penegakan hukum, dan komunikasi resiko yang minim, semuanya berkontribusi pada apa yang terjadi di Sumatera saat ini.

Tanpa narasi yang kuat, bencana yang terjadi saat ini semakin kehilangan “wajah” di hadapan publik. Tanpa disadari, perlahan ia menjadi statistik, laporan singkat, atau foto tanpa konteks. Sementara drama perselingkuhan menawarkan tokoh, konflik, emosi, klimaks, dan drama: semua unsur yang membuat publik memalingkan wajah dan betah berlama – lama mengulas isu ini.

Di sinilah kegagalan komunikasi lingkungan menjadi nyata. Bukan karena kurang data, tetapi karena kalah dalam membangun makna.
Tentu, tidak adil menyalahkan publik sepenuhnya. Dalam ekosistem media digital, algoritma memperkuat mekanisme agenda setting klasik. Kalau dulu media menentukan isu utama lewat pemilihan headline dan penempatan halaman, kini platform mempercepatnya melalui metrik keterlibatan. Drama perselingkuhan memenuhi seluruh prasyarat viral: sederhana, personal, dan emosional. Sebaliknya, bencana ekologis menuntut konteks, data, dan kesinambungan liputan.

Jika bencana banjir Sumatera terus disampaikan dengan bahasa teknis dan jarak emosional, sementara isu personal dikemas dramatis dan repetitive, maka ketimpangan perhatian akan terus berulang.

 

Pertanyaannya bukan apakah skandal perselingkuhan layak dibahas atau tidak, melainkan: mengapa isu dengan dampak ekologis dan sosial yang luas justru kalah ruang?

Di titik ini, teori spiral of silence bekerja. Ketika isu lingkungan jarang muncul dan kalah gaung, publik yang peduli kerap merasa pandangannya berada di posisi minoritas. Mereka memilih diam, enggan bersuara di ruang publik digital yang sedang hiruk-pikuk oleh gosip personal. Keheningan ini memperkuat ilusi bahwa isu ekologis bukan prioritas bersama, sehingga media semakin jarang mengangkatnya. Lingkaran pun berulang: senyap melahirkan senyap.

Menarik Kembali Fokus yang Hilang

Teori spiral of silence dari Elisabeth Noelle-Neumann menjelaskan bagaimana individu cenderung diam ketika merasa pandangannya tidak dominan di ruang publik. Dalam konteks ini, derasnya arus perbincangan soal skandal personal publik figur membuat isu bencana alam terasa “tidak populer” untuk dibicarakan.

Mereka yang ingin mengangkat isu bencana banjir, deforestasi, atau krisis kemanusiaan di Sumatera sering kali merasa suaranya tenggelam dalam arus skandal yang ramai di linimasa. Perlahan, keheningan itu kemudian membesar, menciptakan ilusi bahwa publik sudah move on dari isu banjir Sumatera, padahal yang sedang terjadi adalah kalah suara.

Mematahkan spiral of silence menuntut strategi komunikasi yang sadar agenda. Isu lingkungan tidak cukup hadir sebagai laporan teknis atau berita bencana sesaat. Ia perlu diceritakan sebagai pengalaman sosial yang dekat dengan keseharian: banjir yang memutus akses kerja, asap yang merampas hak anak atas pendidikan, atau konflik satwa yang mengancam penghidupan petani.

Pendekatan ini bukan menanggalkan data, melainkan membingkainya secara komunikatif. Ketika publik merasa terwakili dan melihat isu ekologis sebagai masalah bersama, keberanian untuk bersuara tumbuh, dan spiral keheningan mulai retak.

 

Selain itu, keberlanjutan isu perlu dirawat. Bukan liputan musiman saat bencana meledak, melainkan pelaporan berkelanjutan yang menautkan sebab-akibat dan aktor kebijakan. Di sinilah peran jurnalisme solusi dan kolaborasi dengan komunitas lokal menjadi krusial.
Sumatera saat ini tidak kekurangan bencana ataupun berita. Yang kurang adalah perhatian yang konsisten dan komunikasi yang berpihak pada kepentingan jangka panjang. Sumatera  sedang kekurangan ruang dalam percakapan nasional. 

Drama perselingkuhan akan selalu ada, tahun ini atau tahun – tahun berikutnya, dan mungkin akan selalu menjadi aib yang menarik untuk dibicarakan. Namun, ketika ia dibiarkan mendominasi agenda publik, krisis ekologis dipaksa berkompetisi dalam kondisi yang tidak adil. Agenda setting perlu ditata ulang secara sadar: oleh media melalui keberpihakan pada kepentingan publik jangka panjang, oleh platform melalui desain distribusi yang lebih bertanggung jawab, dan oleh warga melalui pilihan atensi yang reflektif.

Selama spiral of silence dibiarkan bekerja, bencana ekologis akan terus hadir sebagai latar belakang sunyi. Padahal, dalam senyap itulah masa depan sedang dipertaruhkan. Pada akhirnya, yang menjadi persoalan bukan hanya siapa yang berselingkuh dengan siapa, tetapi siapa yang diuntungkan ketika publik berhenti membicarakan hutan, deforestasi, kemanusiaan dan masa depan ekologisnya sendiri.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement