KISAH sejumlah penyintas tsunami di kedua sisi Selat Sunda yang diterjang tsunami beberapa waktu lalu: yang lega, yang berduka, dan yang terus berharap menunggu orang-orang tercinta yang tak kunjung muncul.
Adit, Lampung Selatan: Sempat Dikira Sudah Meninggal
Sempat dikira tak selamat dan terpisah dari orangtua kala tsunami menerjang Pesisir Lampung Selatan, Muhamad Adit Saputra, bocah berusia 8 tahun yang akrab disapa Adit, akhirnya bertemu orangtuanya di rumah sakit.
Sebelum bencana itu menerjang pesisir Lampung Selatan, sehari-harinya Adit main pasir di pantai, menemani ayah dan ibunya yang berjualan minuman dan makanan di Pantai Kedu, Kalianda.
"Ombaknya kecil, pasir...dan pantainya bagus," kata Adit mengenang masa-masa itu.
Saat tsunami menerjang, Adit sedang menginap di tempat kerabatnya. Tak banyak yang dia ingat, selain tertimpa puing bangunan yang runtuh yang membuatnya mendadak hampir tak sadarkan diri.
"Saya dibopong-bopong orang, (mereka) setopin polisi, dibawa sama polisi di rumah sakit," cerita Adit.
Ibunda Adit, Sumarni, sudah sempat kehilangan harapan. Saat kejadian ia dan suaminya tidak bersama karena berada di tempat lain. Tsunami menerjang, mereka langsung dicekam kepanikan dan berlari ke arah kota.
Di tempat pengungsian sementara, Sumarni mendengar kabar anaknya, Adit, tertimpa reruntuhan bangunan. Lalu ia dan suami bergegas menuju Rumah Sakit Bob Bazar, di Kota Kalianda, siapa tahu anaknya dirawat di sana.
"Ternyata dia ada di sana, masih hidup!" ujar Sumarni girang.
Walaupun, kata dia, keadaan Adit tampak tak keruan. "Wajahnya banyak jahitan. Muka sudah bukan rupa muka lagi, Sudah lumpur campur pasir. Sininya (ia menunjukkan bagian wajah hingga telinga) sudah berdarah semua," papar Sumarni tentang apa yang dilihatnya waktu itu.
Kini Adit dan kedua orangtuanya berada di pengungsian, di Gedung Olahraga, Kota Kalianda. Adit ternyata mengalami 20 jahitan untuk berbagai lukanya.
Saat ditemui di tempat penampungan pengungsi di GOR Kalianda, Lampung Selatan, luka-lukanya, jahitan dan memar di berbagai bagian tubuh masih tampak jelas. Ia mengenakan sarung untuk menghindari gesekan yang dapat mengakibatkan lukanya makin parah.
Adit masih merasakan kesakitan sesekali, namun sering memaksa untuk berjalan, karena berbaring atau duduk saja membuatnya bosan. Ia hanya berjalan-jalan sekitar tempat penampungan pengungsi.
Adit masih tak mau pergi ke pantai. "Takut ada tsunami lagi," ungkapnya. Padahal, kata dia, dulu dirinya senang sekali bermain pasir dan air laut di pantai.
Rizki Terus Mencari
Telunjuknya merambati kertas yang tertempel di jendela Kamar Jenazah RSUD Berkah, Pandeglang, Banten, yang sejak Minggu 23 Desember 2018 dijadikan Pos DVI (Disaster Victim Identification). Nama yang ia cari tak ada dalam daftar jenazah yang sudah teridentifikasi di sana.
Ia mengulanginya lagi, menelusuri kolom demi kolom nama korban di kertas itu. "Enggak ada, Mas," ujarnya lirih.
Rizki Hartadi mencari kakak iparnya, TB Fikri Fakhrurrozi, yang hilang sejak tsunami menerjang. Saat kejadian, sang kakak tengah berkemah dengan tujuh orang temannya di Pulau Oar, Pandeglang. Mereka berada di sana sejak Sabtu 22 Desember siang.
"Kita belum dapat kabar, entah itu tersapu ke (daratan pulau) Jawa, atau tersapu ke mana," ujar Rizki kepada Rivan Dwiastono dari BBC News Indonesia, Senin 24 Desember malam.
Rizki menyadari bahwa sang kakak ipar mungkin menjadi korban tsunami setelah melihat unggahan foto pada Facebook sebuah komunitas di Pandeglang yang memperlihatkan salah satu dari tujuh teman kakaknya.
Ia dan saudara-saudaranya yang lain lantas mulai mencari keberadaan Fikri ke sejumlah tempat sejak Minggu siang.
Seperti Rizki, di tempat yang sama ada Subhan juga mencari keberadaan kakaknya, Anwar, yang sejak tsunami menghantam tak bisa dihubungi. "Iya, (dia) lagi melaut gitu (saat tsunami terjadi)," ujarnya.
Hari Minggu lalu, ia mendatangi rumah sang kakak yang berada di kawasan Carita, Pandeglang. Tapi, pemandangan yang tersaji di depannya di luar dugaan.
"Rumah sudah hancur, karena letaknya di pinggir (pantai)," ungkap Subhan.
Badarudin: Saya Sudah Tua, Tak Mau Ambil Risiko
Badarudin, warga Pulau Sebesi yang sudah bermalam-malam di pengungsian di GOR Kalianda Lampung Selatan, berkisah tak punya pilihan lain selain mengungsi, kendati merasa berat meningalkan rumahnya di pulau yang ia tinggali sejak 1969.
"Baru kali ini gunung itu (meletus) kencang. Biasanya asapnya tipis-tipis, ini kok tebal. Saya yang tua ini tidak mau ambil risiko, dan harus mau mengungsi," ujar Badarudin.
Ia mengatakan, banyak orang di Sebesi yang memilih tinggal, karena merasa punya kemampuan menyelamatkan diri, kalau-kalau terjadi apa-apa lagi dengan Gunung Anak Krakatau yang berjarak hanya sekitar 10 km dari pulaunya.
Keluarganya sendiri bahkan awalnya tidak mau pergi dari pulau itu, namun ia bersikeras untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.
"Sempat debat sama keluarga. Mereka masih merasa aman, karena bisa lari ke bukit. Tapi saya yang renta ini tak bisa lari jauh-jauh di pulau itu: mau lari ke mana lagi?" kata Badarudin.
Hujan abu yang menyelimuti Pulau Sebesi, membuat mata Badarudin terluka. Di pengungsian ia sempat mendapatkan perawatan dari tim medis.
Nursanah: Keluar Hutan karena Tak Ada Makanan
Pada Selasa 25 Desember 2018 pagi itu, Nursanah (54), warga Desa Waymuli Timur, baru kembali ke rumah mereka yang hancur di pesisir pantai. Ia datang bersama suami, anak, menantu, dan dua cucunya.
Mereka keluar setelah tidak ada lagi yang bisa dimakan di dalam hutan tempat mereka mengungsi.
"Hanya pakaian yang melekat di badan yang kami bawa, sesekali ada yang mengantarkan makanan ke atas, namun tidak cukup untuk kami," kata Nursanah kepada BBC Indonesia.
Jarak rumah mereka dari pantai hanya 10 meter. Saat tsunami menerjang merobohkan rumah, nyawa mereka selamat setelah berhasil lari sekuat tenaga menuju Gunung Rajabasa.
Di sana, mereka membangun tenda sementara di tengah hutan bersama puluhan orang lainnya.
Muka Nursanah masih terlihat memar akibat hantaman puing bangunan. "Sempat juga kesetrum karena aliran listrik masih waktu air bah datang," ungkap Nursanah.
Tidak jauh dari tempat Nursanah berdiri, rombongan pejabat pusat dan daerah yang berkunjung ke dapur umum yang memasak 2.000 porsi makanan setiap hari sejak Senin 24 Desember.
Kendati lebih tenang, keluarga Nursanah memilih kembali ke pengungsian di dalam hutan pada sore harinya.
"Kami masih trauma, apalagi dengar gemuruh (Gunung Anak) Krakatau setiap malam semenjak tsunami," tegas dia.
(Hantoro)