Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Boris Johnson, Juru Kampanye Brexit dan Calon PM Inggris

Silviana Dharma , Jurnalis-Rabu, 29 Juni 2016 |07:05 WIB
Boris Johnson, Juru Kampanye <i>Brexit</i> dan Calon PM Inggris
Boris Johnson, dari jurnalis menuju kursi PM Inggris. (Foto: Reuters)
A
A
A

Dalam artikel tersebut terkesan sekali Bienkov menyiratkan pesan, menangani tanggung jawab yang kecil-kecil saja, BoJo masih loyo. Apalagi jika ia dipercayai tanggung jawab yang lebih besar, seperti memerintah suatu negara dengan menduduki posisi tertinggi di parlemen, yakni perdana menteri.

Pada kasus Brexit pun, ia selalu bilang semua akan baik-baik saja. Rakyat Inggris di mana pun akan tetap menjalani hari-hari yang biasa, tanpa krisis ekonomi maupun lainnya, tetap stabil. Akan tetapi, banyak orang rupanya merasa tertipu dengan propaganda itu, segera setelah Brexit diumumkan pada Kamis 24 Juni 2016 pagi waktu setempat. Poundsterling anjlok, demikian juga banyak saham mancanegara Inggris.

“Ketika penulis biografinya membandingkan dia dengan seekor kera yang dipercayakan menjaga vas Dinasti Ming. Vas tersebut hanyalah majalah mingguan populer yang jadi corong kubu konservatif. Namun dalam beberapa bulan mendatang, Boris Johnson kemungkinan akan diserahkan vas yang lebih berharga,” ujar Bienkov merujuk pada jabatan PM Inggris. 

“Hanya pada kasus ini, vas yang akan dipegangnya sudah rusak, dan si kera itulah yang menghancurkannya menjadi berkeping-keping. Sesudah itu, dia akan ditugaskan untuk menyatukannya lagi,” tambahnya, menganalogikan bahwa Boris Johnson adalah kera yang sudah memecah belah Negeri Ratu Elizabeth dan sekarang seolah dia akan dibiarkan untuk menjadi juru selamat atas kekacauan yang dia buat sendiri.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa semua darah itu bercampur aduk menyatu dan melahirkan sosok kontroversial ini. Lucu, menyenangkan, berwawasan luas, tetapi juga rasis, cenderung ‘evil’, dan fanatik.

Beberapa pihak, bahkan menyamakan mantan jurnalis Times, The Daily Telegraph, dan majalah Spectator ini sebagai Donald Trump-nya Inggris. Pada Juni 2016 misalnya, politikus demokrat liberal Inggris yakni Nicholas William Peter Clegg mendeskripsikan Boris sebagai "Donald Trump ber-tesaurus". Sedangkan rekannya, anggota parlemen konservatif kulit putih Kenneth Clarke, menyebutnya Boris setidaknya adalah Trump dalam versi yang lebih baik.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement