Beberapa milisi etnis tersebut kini membantu melatih dan mempersenjatai PDF dalam perang sipil melawan militer.
Budaya impunitas yang membolehkan serdadu menjarah dan membunuh sekehendaknya, sebagaimana dipaparkan keenam serdadu, telah berlangsung selama berpuluh tahun, menurut organisasi Human Rights Watch.
Individu jarang dimintai pertanggungjawaban atas kekejian yang diduga dilakukan militer.
Namun militer Myanmar semakin sering harus mengupah serdadu dan milisi akibat desersi dan pembunuhan oleh PDF.
Sebanyak 10.000 orang telah membelot dari militer dan kepolisian sejak kudeta 2021, menurut kelompok People's Embrace bentukan mantan personel militer dan kepolisian.
"Militer kewalahan mempertahankan perang sipil yang berlangsung di berbagai lini," papar Michael Martin dari lembaga kajian Centre for Strategic and International Studies.
"Mereka mengalami masalah personel pada tingkatan perwira dan serdadu berpangkat rendah, militer didera korban banyak, masalah perekrutan, masalah mendapat peralatan dan suplai. Itu tercermin oleh fakta bahwa mereka tampak kehilangan wilayah atau kendali wilayah di berbagai bagian negeri."
Kawasan Magway dan Sagaing (tempat kejadian-kejadian di atas berlangsung) biasa menjadi wilayah perekrutan militer Myanmar. Namun, kaum muda di sana malah memilih bergabung dengan PDF.
Kopral Aung menegaskan mengapa dia membelot: "Jika saya menyangka militer akan menang dalam jangka panjang, saya tidak akan berpindah haluan ke rakyat."
Menurutnya, serdadu-serdadu militer Myamar tidak berani meninggalkan pangkalan sendirian karena khawatir bakal dibunuh PDF.
"Ke manapun kami pergi, kami hanya bisa pergi dengan membentuk barisan militer. Tiada yang bisa bilang kami mendominasi," ucapnya.
Kami mengajukan tuduhan-tuduhan dalam investigasi ini kepada Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara militer Myanmar.