"Anda hanya memiliki 400 [pejuang] - ada jutaan tentara di Vietnam. Kami tidak ingin Anda mati," demikian tanggapan PBB kala itu.
Kemudian pada Agustus 1992, jurnalis Amerika Nate Thayer mengunjungi kamp tersebut dan kisah pejuang Fulro terakhir diketahui dunia luar.
Thayer melaporkan di Phnom Penh Post bahwa kelompok itu masih menunggu instruksi dari pemimpin mereka yang, tanpa mereka ketahui, telah dieksekusi oleh Khmer Merah 17 tahun sebelumnya.
"Tolong, bisakah Anda membantu kami menemukan presiden kami, Y Bham Enuol?" tanya Panglima Fulro Y Peng Ayun.
"Kami telah menunggu kontak dan perintah dari presiden kami sejak tahun 1975. Apakah Anda tahu di mana dia?,” lanjutnya.
Beberapa dari kelompok itu menangis ketika mereka diberitahu bahwa dia telah meninggal. Berita kematian pimpinan Fulro tidak pernah sampai ke Hin Nie di radio gelombang pendeknya.
Dia dan rekan-rekannya telah mendengar bahwa perang telah berakhir tetapi masih ada harapan yang tidak realistis bahwa AS akan kembali berhubungan dan memberikan dukungan. Meski terjebak di perbatasan, para pejuang Fulro enggan menyerah untuk memperjuangkan tanah airnya dan menjadi pengungsi.
Hin Nie ditanya bagaimana perasaannya terhadap AS. "Saya tidak marah, tetapi sangat sedih karena orang Amerika melupakan kami. Orang Amerika seperti kakak laki-laki kami, jadi sangat sedih ketika saudara laki-laki Anda melupakan Anda," katanya kepada Thayer.
Setelah mengetahui bahwa pemimpin mereka telah pergi, para pejuang Fulro setuju untuk meletakkan senjata mereka dan mencari suaka di AS.