Ini menjadi upaya pembunuhan pertama terhadap kandidat presiden dalam lebih dari tiga dekade, dan kembali memperlihatkan situasi politik di AS yang tegang. Upaya pembunuhan ini juga terjaid menyusul serangkaian retorika dari Presiden Joe Biden, yang menyebut Trump dan MAGA sebagai ancaman terhadap demokrasi dan AS, yang oleh sebagian pihak, bisa dianggap sebagai motivasi untuk menyingkirkan kandidat dari Partai Republik tersebut.
Insiden ini meningkatkan popularitas Trump, membuatnya dianggap sebagai ‘orang yang terpilih’ untuk memimpin AS. Di sisi lain, kegagalan Dinas Rahasia AS, untuk mencegah terjadinya penembakan ini menjadi sorotan, bahkan ada yang mencurigai pemerintah AS sebagai dalang dari upaya pembunuhan terhadap Trump.
Berselang sepekan setelah upaya pembunuhan terhadap Trump, Presiden Joe Biden mengumumkan mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat. Pengunduran diri Biden ini terjadi menyusul tekanan keras terhadap mantan Senator Delaware itu dari internal Partai Demokrat atas penampilan buruknya dalam debat calon Presiden beberapa pekan sebelumnya, yang membuat popularitasnya merosot tajam.
Mundurnya Biden mendorong Partai Demokrat mencalonkan Kamala Harris, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden, sebagai penggantinya.
Hingga hari pemilihan 5 November, jajak pendapat menunjukkan bahwa Pilpres AS 2024 antara Donald Trump dan Kamala Harris akan berlangsung ketat. Pengamat sepakat bahwa kemenangan salah satu kandidat akan ditentukan oleh suara di tujuh Negara Bagian Pertempuran atau Battleground States.
Pada kenyataannya, Pilpres AS 2024 menjadi salah satu pilpres paling “tidak seimbang” dengan kemenangan telak Trump atas Harris.
Penghitungan menunjukkan Donald Trump mendapatkan 312 elektoral - jauh di atas 270 suara yang dibutuhkan untuk terpilih - sementara Kamala Harris mendapatkan 216 suara elektoral. Donald Trump juga memenangi suara populer dengan memperoleh 77.2 juta suara berbanding 75 juta suara yang diperoleh Kamala Harris.