SEBENARNYA saya tidak akan comment terhadap pertemuan yang sudah terjadi dua hari lalu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pada Rabu 15 Januari 2025, namun karena banyaknya pertanyaan ke saya selaku Kerabat Puro Pakualaman, salah satu bagian dari "Catur Sagatra" Trah Kerajaan Mataram, maka tulisan ini dibuat agar bisa dimaknai secara komprehensif, faktual dan ilmiah.
Sedikit sebagai referensi pambuko atau proloque, dulu Kerajaan Mataram di Jawa wilayahnya luas dan pengaruhnya cukup besar di masyarakat, sehingga pihak penjajah merasa perlu untuk "memecah"-nya dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755. Awal dari munculnya ide perjanjian (pemecahan) ini adalah pihak penjajah memanfaatkan konflik internal di dalam Kerajaan Mataram, utamanya pasca wafatnya Amangkurat IV. Konflik tersebut antara lain terjadi antara Sri Susuhunan Pakubowono III,, Pangeran Mangkubumi (saudara Susuhunan) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa).
Penjajah mendukung Pakubuwono sebagai penguasa Mataram, meskipun sebagian besar wilayah kerajaan berada di bawah penguasaan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, sehingga Mangkubumi merasa tidak diperlakukan adil oleh Susuhunan dan Penjajah, sehingga memulai pemberontakan yang berlangsung selama hampir 10 tahun (1746–1755). Untuk mengakhiri konflik, dimediasi perundingan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III. Hal ini menghasilkan Perjanjian Giyanti.
Bertempat di desa Giyanti, Karanganyar, pada Hari Kamis Kliwon tanggal 13 Fabruari 1755 disepakati perjanjian yang sangat bersejarah bagi masa depan Kerajaan Mataram, karena selanjutnya Mataram dipecah menjadi Kraton Kasunanan Surakarta di bawah Sunan Pakubuwana III, dan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah Sri Sultan Hamengku Buwana I. Dalam perkembangan, tanggal 17 Maret 1757, Kasunanan menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, sementara pada 17 Maret 1813 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga menjadi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.