Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pakistan Tangguhkan Komitmen Konkret terhadap Pasukan Stabilisasi Gaza Trump

Rahman Asmardika , Jurnalis-Selasa, 23 Desember 2025 |12:36 WIB
Pakistan Tangguhkan Komitmen Konkret terhadap Pasukan Stabilisasi Gaza Trump
Ilustrasi.
A
A
A

JAKARTA — Rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait proyek stabilisasi Gaza membuka peluang hubungan kerja sama transaksional antara Washington dengan banyak negara, salah satunya Pakistan. Islamabad berpotensi menyediakan pasukan untuk Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) yang diusulkan Trump di Gaza, sementara AS memberikan dukungan berupa bantuan ekonomi, jaminan politik, dan kelonggaran terhadap kebijakan domestik Pakistan yang melibatkan pengawasan terhadap tokoh politik seperti Imran Khan dan partainya, Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI).

Namun, Pakistan hingga saat ini belum memberikan komitmen konkretnya kepada ISF. Pemimpin militer paling berpengaruh di Pakistan Marsekal Lapangan Asim Munir diduga menunda komitmen tersebut sambil berupaya memaksimalkan manfaat geopolitiknya sebelum melakukan hal tersebut, demikian dilansir Al Arabiya Post, Selasa, (23/12/2025).

Kekuatan Munir saat ini bersandar pada kontrol institusional terhadap militer dan intelijen, dukungan pemerintahan sipil di Islamabad, serta upaya membatasi pengaruh politik Imran Khan.

Pengangkatannya sebagai Marsekal Lapangan, konsolidasi komando atas tiga matra militer, dan langkah-langkah keras terhadap PTI setelah kerusuhan 9 Mei 2023 telah menempatkannya sebagai figur dominan di Pakistan. Namun, posisi tersebut juga menjadikannya pihak yang paling bertanggung jawab atas tantangan ekonomi, dinamika politik dalam negeri, dan ketegangan strategis dengan India pasca operasi Sindoor.

 

Dalam situasi saat ini, dukungan eksternal menjadi penting bagi stabilitas pemerintahan Munir. Ia dikabarkan memerlukan tiga bentuk dukungan utama dari Washington: pertama, restu informal untuk perpanjangan masa jabatannya di luar kebiasaan institusional; kedua, bantuan ekonomi dan investasi guna menopang perekonomian Pakistan yang rapuh, sebagaimana tercermin dalam nota kesepahaman (MoU) AS–Pakistan terkait investasi mineral dan energi; dan ketiga, toleransi terhadap langkah-langkah hukum serta pengendalian informasi yang diterapkan terhadap oposisi politik, termasuk Imran Khan.

Rencana 20 poin Trump untuk Gaza mencakup pembentukan pasukan multinasional, sebagian besar dari negara-negara mayoritas Muslim, untuk melucuti senjata Hamas, menstabilkan Gaza, dan mengawasi proses rekonstruksi. Pakistan dengan kekuatan militernya yang besar dan berpengalaman menjadi salah satu kandidat potensial bagi Washington, baik dari sisi operasional maupun politik di dunia Islam. Bagi Munir, peluang ini menghadirkan dilema: keterlibatan dapat meningkatkan posisi strategis Pakistan, namun juga berisiko menimbulkan resistensi dalam negeri jika dianggap berseberangan dengan perjuangan Palestina.

AS diperkirakan akan memberikan dukungan politik dan ekonomi sebagai imbalan atas komitmen Pakistan terhadap rencana Gaza. Namun, pelaksanaannya masih bersifat fleksibel dan dapat berubah sesuai dinamika politik. Sementara itu, Munir memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat hubungan dengan Washington, termasuk pertemuannya yang ketiga dengan Trump dalam enam bulan terakhir, serta menandatangani MoU baru yang dapat dipresentasikan sebagai indikator keberhasilan kebijakan luar negerinya.

 

Meski demikian, keputusan untuk mengirim pasukan ke Gaza membawa konsekuensi domestik yang sensitif. Di dalam negeri, opini publik Pakistan dikenal sangat pro-Palestina dan skeptis terhadap inisiatif yang dipandang selaras dengan kebijakan AS atau Israel. Keterlibatan militer Pakistan dalam misi semacam itu berpotensi memicu kritik politik dan sosial luas, termasuk dari kelompok keagamaan dan nasionalis.

Bagi Munir, keberhasilan diplomasi simbolis bisa memiliki nilai strategis tersendiri. Partisipasi dalam forum internasional, dukungan di PBB, dan pernyataan kesiapan berkontribusi “dalam kondisi yang tepat” dapat menjaga hubungan dengan AS sekaligus mengamankan manfaat politik dan ekonomi yang dibutuhkan di dalam negeri. Sejumlah analis menilai, pendekatan pragmatis tersebut memungkinkan Pakistan memperoleh hasil maksimum dengan risiko minimum, setidaknya dalam jangka pendek.

Namun, ruang kompromi kali ini dinilai lebih terbatas. Bagi pemerintahan Trump, kontribusi nyata dari negara-negara Muslim termasuk Pakistan merupakan elemen penting untuk legitimasi rencana Gaza. Jika Islamabad menunda terlalu lama, Washington mungkin terpaksa memilih antara melemahkan konsep ISF dengan mengandalkan mitra yang lebih kecil, atau menekan Pakistan secara langsung untuk memastikan partisipasi. Kedua opsi membawa risiko politik tersendiri: keberhasilan misi Gaza yang terganggu, atau potensi gesekan diplomatik dengan Islamabad.

 

Sementara itu, bagi Pakistan, strategi menunda komitmen berisiko kehilangan kepercayaan dari Washington. Jika AS menilai Islamabad tidak konsisten atau enggan memenuhi kesepakatan, prospek dukungan terhadap stabilitas politik dan ekonomi Pakistan bisa terpengaruh. Hubungan yang awalnya bersifat saling menguntungkan dapat bergeser menjadi penuh kecurigaan, meninggalkan Pakistan dalam posisi yang lebih rentan baik di tingkat domestik maupun internasional.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement