Senggolan itu kata Fajar disebabkan karena terjadinya kegagalan proses asimilasi dan akulturasi budaya antara masyarakat Belanda dengan para imigran.
“Program pemerintah harus direvisi karena mereka punya program imigran, entah yang bekerja, sekolah, pencari suaka, itu harus direvisi sebelum (mereka) dirilis ke masyarakat,” katanya.
Fajar menjelaskan bahwa Belanda telah menerima pendatang sejak Kesultanan Utsmaniyah abad 16-17.
Bahkan, usai Perang Dunia Kedua, Belanda juga mengundang para pendatang sebagai pekerja tamu, yang mayoritas dari Argentina, Italia, Turki dan Maroko.
“Belanda mengundang mereka datang karena negaranya porak poranda akibat perang, dan butuh manpower untuk membangun infrastruktur lagi.”
“Ini cikal bakal pendatang Muslim di Belanda, dan ini sudah lama dan tidak ada masalah. Bahkan mereka kini memiliki hak pilih. Artinya ini bukan tentang anti-Islam, tapi karena masalah imigran yang tidak diselesaikan pemerintah,” ujarnya.
Kemenangan Wilders meraih kursi terbanyak di parlemen Belanda belum menjadi hasil akhir.
Dia kini harus merangkul partai-partai lain untuk membangun koalisi yang menyaratkan lebih dari 50% kursi, guna membentuk kabinet.
“Dia harus mencari partai lain dan belum tentu dia dapat separuh plus satu kursi di parlemen karena partai lain terlihat enggan ikut kabinet dengan Wilders dalam koalisi. Itu yang menjadi tantangan selanjutnya,“ kata Prof. Nico.
(Rahman Asmardika)