Selama kampanye Pemilu Belanda, Prof. Nico melihat bahwa Wilders menggunakan bahasa-bahasa yang moderat dan halus.
Kenyatannya, dalam program partai yang tertulis, ujarnya, masih sangat fasis, anti-Islam, seperti ingin membongkar masjid, melarang Al-Quran, dan menutup pintu bagi siapapun yang berasal dari Timur Tengah dan Islam.
”Hasil pemilu ini menakutkan banyak orang dan politik di Belanda dalam keadaan shock,” ujar Nico.
Namun, pengajar sastra Belanda di Universitas Indonesia, Fajar Muhamad Nugraha melihat kemenangan Wilders tidak menunjukkan bahwa masyarakat Belanda memiliki sikap anti-Islam, melainkan lebih pada ekspresi kekecewaan terhadap para imigran.
Fajar mengatakan, mengutip dari Badan Statistik Belanda (CBS), sekira 57% masyarakat Belanda menyatakan dirinya tak beragama, lalu diikuti 18,2% Katolik Roma, 13,2% Protestan, dan 5,6% Islam.
“Jadi ini bukan tentang anti-Islam. Tapi senggolan imigran-imigran yang mayoritas Islam (karena konflik di negara-negara Islam) dengan masyarakat lokal,” katanya.
Sebagai contoh, sepanjang tahun 2022 terdapat sekira 400.000 imigran dari beragam negara yang datang ke Belanda.
“Analoginya, saya terima orang datang ke rumah saya dengan senang hati, tapi ketika pada satu titik orang itu mengatur di rumah saya, saya kan kesal,” ujarnya.
“Terjadi gesekan-gesekan di akar rumput hingga akhirnya berantakan kebiasaan hidup di masyarakat, lalu langsung pakai framing awal (agama),” katanya.