Share

Gempuran Rokok Murah di 'Bumi Rafflesia' Ancam Anak-Anak

Demon Fajri, Okezone · Minggu 11 Februari 2018 15:57 WIB
https: img.okezone.com content 2018 02 11 340 1857947 gempuran-rokok-murah-di-bumi-rafflesia-vFLVG5DRsl.jpg Ilustrasi (Foto: Dokumentasi Okezone)

BENGKULU - Tahun 2016, 15,4 persen dari 1.904.793 masyarakat Provinsi Bengkulu berusia 35-39 tahun, merokok. Disusul, usia 25-29 tahun 14,2 persen. Kemudian, 14,0 persen usia 30-34 tahun juga kecanduan rokok.

Kelompok umur 15-19 tahun sejumlah 3,1 persen, 20-24 tahun 10,4 persen. Usia 40-44 tahun 11,0 persen, 45-49 tahun 9,4 persen, 50-54 tahun 8,4 persen, 55-59 tahun 6,2 persen dan umur 60 tahun keatas 7,9 persen. (lengkap lihat grafis,red). Bagaimana serangan rokok murah di Bengkulu?

Rokok Murah Menyasar Lingkungan Sekolah

Di tengah kampanye pemerintah atas larangan merokok. Perusahaan rokok berusaha memengaruhi pemilik warung. Mereka memberikan 'iming-iming', hadiah wow, salah satunya Makmur, pedagang beruntung.

Matahari pagi itu sudah menampakkan diri. Sisa-sisa hujan semalam di Kota Bengkulu masih membekas di jalan. Tanah terlihat lembap. Jalan Batang Hari, Kelurahan Padang Harapan, Kecamatan Ratu Agung. Di depan warung manisan milik Makmur, persisnya.

Warung itu tidak terlalu besar, pintunya rolling. Menjual berbagai jenis minuman dan makanan ringan, rokok tak ketinggalan. Semua merek rokok dijual. Pemilik warung membuat tempat nongkrong. Satu meja dan tiga kursi panjang berukuran 2 meter di samping warung.

Di depan warung itu ada tiga sepeda motor yang diparkir. Milik siswa SMA, sengaja dititip. Bangunan warung "Dika", berjarak 100 meter dari pintu gerbang sekolah setingkat SMA. Setiap hari dijaga Makmur bersama istrinya.

Pasangan suami istri (Pasutri) itu melayani setiap konsumen, duduk di dalam. Pagi itu, pria berambut pendek ini sedang membereskan barang dagangannya. Sesekali melayani pembeli, tak terkecuali siswa SMA.

Rokok menjadi pemasukan terbesar di warung Makmur. Satu hari 120 bungkus rokok terjual, bahkan lebih. Langganannya anak sekolah. Dari pagi, siang, sore dan malam. Rokok, jadi daya pikat siswa SMA. Dijual eceran, ketengan.

Per batang dijual Rp1.000, sebut saja merek rokok "A". Murah. Rokok ini sangat diminati kalangan anak sekolah. Sehari bisa menjual 100 bungkus, setara 10 pack. Selain rokok "A", merek rokok "B" juga diminati. Harganya sama, Rp1.000 per batang.

"Satu hari habis 100 bungkus. Dijual ketengan dan dijual per bungkus," kata pria asal Makassar, Sulawesi Selatan ini sembari menunjukkan rokok yang dijual ketengan.

Tujuh merek rokok dijual eceran di warung yang dibuka sejak 2006 ini. Selain rokok "A" dan "B". Harganya, lebih mahal Rp500. Rokok bermerek itu dijual Rp1.500 per batang. Ada peminat. Tidak begitu banyak. Khususnya anak sekolah untuk sekadar nongkrong.

Warung ini setiap hari selalu ramai. Saat pagi, ketika anak SMA mau masuk sekolah. Waktu Istirahat siang dan pulang sekolah. Tidak kurang dari 20 sepeda motor terparkir di depan warung ini. Nongkrong, sembari menghisap batang rokok.

Saat malam, lokasi ini menjadi lokasi nongkrong kalangan remaja berstatus pelajar. Tingkat SMP dan SMA. Mereka mengisap batang rokok. Dibeli eceran. Rokok "A" dan "B". Mereka membeli per batang. Terkadang, patungan membeli satu bungkus.

Mulanya, warung sekaligus tempat tinggal pasutri ini tidak menjual rokok eceran, takut rugi. Namun, menjual dengan sistem per batang, kini ada jaminan dari siswa SMA. Belum lagi rekan mereka akan membeli rokok di warung itu. Akhir 2015 persisnya. Sejak itu berbagai merek rokok dijual, ketengan, dan laris.

"Semua rokok saya buka ketengan. Kecuali rokok yang harga per bungkus Rp10 ribu," aku bapak yang dikaruniai tiga orang anak ini.

Tidak hanya jaminan siswa SMA. Perusahaan rokok ikut memberi sumbangsih "iming-iming". Hadiah 'aduhai'. Sepeda motor, kulkas, televisi, kipas angin, tape, emas, misalnya. Doorprize diberikan jika menjual produk rokok terbanyak. Sesuai batas waktu ditentukan.

Itu tidak terlepas tawaran dari tim pemasaran rokok. Produk mereka harus dijual eceran. Dibuktikan dengan bungkus rokok kosong. Temponya, tiga bulan. Pemilik warung tergiur. Berlomba-lomba menjual batang rokok, ketengan.

Pria yang akrab disapa Pakde ini, salah satunya. Sebut saja rokok "C". per bulan 400 bungkus atau setara 100 bungkus per minggu, terjual. Dari penjualan itu, ia mendapatkan Rp6 juta per bulan. Program rokok "C" berlangsung tiga bulan di tahun 2017.

Sebanyak 1.200 bungkus rokok, habis terjual. Total penjualan rokok mencapai Rp18 juta. Pria ini beruntung dan masuk katagori penjualan rokok terbanyak di Bengkulu. Kulkas, berhasil dibawa pulang. Tidak hanya merek rokok "C". Rokok "D", "E", "F" menawarkan hal serupa. Buktinya, pria ini mendapatkan hadiah. Kipas angin, setrika, tape, dan kompor gas.

Program lain. Pemasangan spanduk merek rokok. Per bulan dia mendapatkan 4 bungkus rokok dari salah satu merek rokok "C". Plus uang tunai Rp500 ribu, pada akhir tahun. Uang itu langsung masuk ke nomor rekening.

Rokok "D" pun sama. Nominalnya, Rp1 juta per tahun. Pemasangan satu spanduk berukuran sekira 3 x 1,5 meter, di depan warung. Spanduk itu dikontrak perusahaan rokok. Tidak boleh dicabut atau dilepas semasa waktu kontrak.

"Saya dapat kulkas, kipas angin, gosok-an, tape, kompor gas. Kalau kontrak spanduk habis, maka kami turunkan,'' sampai Pakde.

Follow Berita Okezone di Google News

Rokok Ketengan Bius Siswa dan Mahasiswa

Rokok murah menyerang lingkungan sekolah setingkat SMA lainnya. Jaraknya, sekira 20 meter dari pintu gerbang sekolah. Jalan Bali Kelurahan Kampung Bali Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu, lokasinya.

Bangunan itu dikontrak. Ukurannya tidak begitu besar. Ada tiga pintu. Satu pintu khusus menjual makanan ringan dan manisan. Rokok, tidak ketinggalan. Dua pintu lainnya, diisi jasa ketik dan sarapan.

Pagi menjelang siang. Cuaca di Kota Bengkulu mendung. Di kejauhan awan kelam menggumpal, pertanda mau hujan. Kendaraan roda empat dan roda dua lalu lalang, tanpa henti. Perempuan berbadan gendut melayani pelanggan, di warung miliknya. Warung "Lala", namanya.

Berbagai jenis makanan ringan, minuman dan rokok berbagai merek, dijual. Rokok eceran, tidak ketinggalan. Pelanggannya, siswa SMA dan mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta (PTS).

Rita Fauziah, pemilik warung itu. Perempuan itu sudah berdagang sejak 15 tahun. Di dekat pintu gerbang SMA dan kampus tempatnya. Setiap hari siswa SMA dan mahasiswa, beli rokok ketengan di tempat perempuan berusia 43 tahun ini.

Rokok yang dijual, Rp1.000 per batang. Rokok "A" dan "B", misalnya. 20 bungkus rokok ludes dijual dengan cara eceran. Untungnya, Rp1.500 per bungkus. Tidak terlalu besar. Di warung itu anak SMA, tidak nongkrong. Begitu juga mahasiswa. Hanya mampir sebentar. Beli rokok.

Siswa SMA membeli satu hingga dua batang rokok. Mahasiswa, beli setengah bungkus. Rokok, "A" dan "B", jadi pilihannya. Murah. Rokok "C", "D", "E" yang dijual ketengan. Tidak begitu laris. Harganya, Rp1.500 per batang.

"Rokok Rp1000 per batang yang paling laris, yang beli anak SMA. Kalau mahasiswa beli setengah bungkus," kata perempuan yang akrab disapa Ita ini.

Sejak menjual rokok ketengan. Kipas angin, kompor gas, kulkas, baju, handuk, hadiah dari produk rokok ia peroleh. Dia mengikuti program dari rokok tersebut. Hadiah itu "iming-iming" dari perusahaan rokok. Jika pedagang bisa menjual rokok dengan jumlah besar.

Itu dibuktikan, bungkus rokok yang dibuka secara eceran. Banyak menjual rokok, maka memperoleh poin. Setiap produk, berbeda-beda. Rokok "C", menawarkan dengan cara benang di bungkus rokok bagian atas untuk dikumpulkan. Ada juga bungkus rokok, dikumpulkan.

Semakin banyak menjual, semakin besar hadiah diperoleh. Sepeda motor, hadiah utamanya. Hal tersebut, salah satu cara pemasaran penjualan rokok. Pemilik warung tergiur. Berusaha menjual sebanyak mungkin. Program itu berkesinambungan. Seperti, tahun sebelumnya. Hadiahnya menggiurkan.

Selain menjual rokok ketengan. Produk rokok "membius" warung pemasangan spanduk. Di depan warung, persisnya. Spanduk merek rokok itu di kontrak, per tiga bulan. Nominalnya, Rp300 ribu. Tergantung dengan produk rokok.

"Sempat dapat kulkas. Kipas Angin. Itu dari berbagai merek rokok. Awal tahun ini belum ada. Mungkin minggu depan sudah ada lagi programnya," aku Ita.

Kisah Pecandu Rokok Berujung Sakit Paru

Sebanyak 67.507 masyarakat di provinsi dengan julukan "Bumi Rafflesia" terserang penyakit tidak menular. Sepanjang 2015 hingga Juni 2017. Salah satu penyebabnya, rokok. Bagaimana dampak "keganasan" rokok bagi kesehatan?

Ibnu Hajar (31), Ramdani (60) dan Raffa Satria Pratama (1 tahun 4 bulan), misalnya. Mereka terdampak rokok dan asap rokok, secara langsung. Warga Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu itu diklaim menderita sakit paru, TBC dan sesak nafas atau asma. Mereka bertiga berkisah. Dampak buruk dari "keganasan" rokok.

Sore itu awan kelam menggelayut di Kota Bengkulu. Di lorong sempit Kelurahan Jitra Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu, persisnya. Gang sempit itu berada tak jauh dari tempat makam Inggris. Bangunan rumah permanen pun tertata rapi.

Di lokasi bangunan berhimpitan tanpa batas itu, ada rumah dikontrakkan. Kost-an. Ukurannya tidak begitu besar. Ada tiga pintu dalam satu bangunan kost-an itu. Dua kamar sudah dihuni. Satu kamar, belum.

Di depan kamar kost-an ada ruang tamu. Televisi, kursi tamu adalah fasilitasnya. Satu dari dua penghuni kamar kost itu, dihuni pencadu berat rokok. Ibnu Hajar (31) namanya. Kamarnya, dekat pintu masuk bangunan kost warna abu-abu.

 Ibnu Hajar, saat memegang obat untuk sembuh dari penyakit paru (Foto: Demon/Okezone)

Saat masuk, pria kelahiran Makassar 1 Januari 1986 itu sedang bersantai di kamar. Ia bergegas keluar dan duduk di kursi tamu depan kamarnya. Kesehatannya sempat memburuk. Sehingga masuk rumah sakit Bhayangkara Bengkulu.

Rumah sakit itu tak jauh dari tempat tinggalnya, 300 meter kira-kira. Pria ini korban dari gempuran rokok di Tanah "Bumi Rafflesia" yang berujung sakit paru. Saat keluar dari kamar, ia terlihat lemas. Seperti tidak bergairah. Sakit, menghisap rokok penyebabnya.

Kecanduan rokok sejak di kelas X SMA. April 2017, di rawat rumah sakit. Saat itu dirinya bersekolah di tanah kelahirannya, Makassar. Bersama orangtuanya. Semasa di SMP, ia belum menghisap batang rokok.

Jaja, panggilan akrab pria ini. Mengaku pengaruh lingkungan menjadi salah satu penyebab menjadi pecandu rokok. Lingkungan sekolah dan masyarakat menjadi penyumbang besar, terpapah menghisap batang rokok.

"Aku sudah mengenal rokok sejak kelas 1 SMA. Kenal rokok karena pengaruh lingkungan. Bulan April 2017, aku masuk rumah sakit dan dirawat satu minggu," kata Jaja.

Karyawan salah satu perusahaan di Kota Bengkulu, pekerjaan pria berambut pendek ini. Satu hingga dua per hari menghisap batang rokok, awal mulanya. Secara berangsur, candu. Uang jajan sekolah dari orangtua digunakan untuk melepas candu itu.

Hari terus berganti, bulan terus berjalan, menghisap batang rokok semakin "buas". Tahun 2002 hingga April 2017 adalah masa-masa menjadi pencandu berat rokok pria yang merantau ke Kota Bengkulu, tahun 2015 ini. Dua bungkus rokok, habis per hari.

Selama 15 tahun "buas" merokok. Rasa sakit mulai mengganggu kesehatannya. Satu minggu, dirawat inap di Rumah Sakit Bhayangkara Bengkulu. Hasil rontgen menyatakan bagian organ dalam tubuh atau di bagian paru-parunya sudah berlobang. Terlihat sudah tinggal setengah.

Organ tubuhnya di sebelah kiri atau paru mengeluarkan cairan warna kuning. Nafas terasa sesak. Sakit paru-paru efek dari rokok klaim dari dokter yang menangani Jaja. Sesak nafas dan terasa sakit di bagian paru, gejalanya. Satu minggu dirawat. Belum dinyatakan sehat.

Obat dari dokter harus di minum sembilan bulan. Obatnya, kapsul dan tablet. Di minum rutin, setiap hari. Ada obat yang satu minggu tiga kali harus diminum. Puluhan tablet/kapsul, masuk ditubuhnya. Perawatan di rumah sakit dan obat dari fasilitas BPJS Kesehatan.

Sejak itu, Jaja tidak bisa aktif bekerja. Ketika berjalan jauh atau bekerja berat-berat, mudah lelah. Efek lainnya muncul ketika obat rutin tidak dikonsumsi. Dada di bagian kiri terasa sesak dan kepala terasa pusing.

Obat yang dikonsumsi secara rutin membuat perubahan di paru-paru-nya. Hasil rontgen, paru-paru yang dulunya bolong terlihat sudah tertutup. Namun, dia belum begitu bisa meninggalkan candu rokok.

Untuk menghilangkan rasa candu, satu hari musti mengisap batang rokok. Sejak merokok dikurangi, nafsu makan bertambah. Berat badannya bertambah enam kilogram. Dia terus berusaha menjauhi rokok dan berhenti secara total.

"Obat itu masih aku minum secara rutin sampai Maret 2018. Jika tidak diminum kepala aku terasa pusing dan dada terasa sesak. Sejak minum obat perubahan sudah ada," kata Jaja, sembari menunjukkan obat yang diambil dari dalam kamarnya.

Sakit Parah, Taubat Merokok

Tidak hanya Jaja. "Keganasan" rokok juga dialami Ramdani. Warga Kelurahan Lingkar Barat Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu. Pria 60 tahun ini perokok aktif, 25 tahun lamanya. Tahun 1981 hingga 2006. Berhenti merokok setelah menderita TBC dan asma.

Kota Bengkulu cerah berawan, pagi itu. Matahari tak malu-malu menampakkan wujudnya. Suasana itu juga dirasakan di gang cukup besar Kelurahan Lingkar Barat Kecamatan Gading Cempaka. Lorong itu bisa dilewati satu mobil.

Tidak begitu ramai, kendaraan lalu lalang di kawasan itu. Jejeran bangunan rumah yang seragam ada di jalan Sadang II RT 07 RW. 02 ini. Tak Jauh dari di simpang tiga ada rumah dihuni, Dani. Berselang empat rumah dari simpang tepatnya.

Di halaman rumahnya, terparkir satu unit mobil jenis sedan. Merah, warnanya. Dani sapaan akrab pria berumur ini. Dampak buruk rokok sudah dirasakan. Taubat adalah langkah menjauhi rokok. Tahun 1981, belum perokok aktif.

Hari itu mukanya terlihat segar dan sehat. Fisiknya terlihat masih kuat. Tidak ada asbak di ruang tamu, hanya ada hiasan bunga di atas meja tamu. Suasana rumah-nya adem. Tak ada bau sisa-sisa asap rokok di ruang berukuran 4x4 meter tersebut.

Dia duduk di kursi tamu. Di atas kepalanya tersusun rapi foto keluarga yang menempel di dinding. Ada meja dihiasi bunga, indah. Terletak di samping kursi tempat dia duduk. Mengenal rokok dari pergaulan. Rekan-rekan kerja adalah pengaruhnya. Gratis, awalnya. Itu membuat candu dan ketagihan.

Merasa malu diberi gratis. Pada hari, minggu selanjutnya berusaha membeli rokok sendiri, perokok aktif disandangnya. Mengisap batang rokok bentuk pergaulan di lingkungan kerja bapak dari dua orang anak ini, satu atap dengan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu, tempatnya.

 Ramdhani, yang kembali ceria usai taubat dari rokok (Foto: Demon/Okezone)

Terkadang, tidak membeli. Rokok dikasih gratis dari kerabatnya. Bulan terus berjalan, tahun pun berganti. Menghisap batang rokok menjadi kebutuhan satu bungkus per hari, dihabiskan.

Sepuluh tahun kemudian. Tahun 1991, kira-kira. Merokok semakin "ganas". Dari satu bungkus, meningkat tiga bungkus. Satu hari uang dibakar sia-sia. "Bakar uang" ini berlangsung hingga tahun 2006, 15 tahun lamanya.

"Ganas" merokok membuat kesehatan pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan 22 Juli 1957, terganggu. Tahun 2006, ingat pria ini. Saat istirahat tidur. Mulutnya mengeluarkan segumpal darah. Tidak kurang, empat gelas. Itu awal mulanya.

Suami dari Tri Murti (58), langsung dilarikan ke rumah sakit umum daerah (RSUD) M Yunus Bengkulu. 15 menit dari rumahnya. di rumah sakit ini ditangani intensif. Infus, pemberian oksigen, salah satu langkah pertama tim medis.

Selama 10 hari bapak dari Rio Trinsa Dayu dirawat sehingga tidak masuk kerja. Dadanya terasa sesak, mengeluarkan cairan warna kuning dari bagian paru, saat masa perawatan di rumah sakit.

"Hasil dari rontgen, paru-paru saya sudah bolong. Terlihat sudah setengah," kata pensiunan salah satu karyawan swasta di Kota Bengkulu, sembari memegang bagian paru-parunya.

Keluar dari rumah sakit, ayah Ria Tristina Dayu, musti makan obat rutin. Sembilan bulan, lamanya. Enam jenis obat ditelannya setiap hari, resep dari dokter. 3x1 kali sehari. Tapi, obat tersebut dikonsumsi selama 11 bulan. Tujuannya baik. Penyakit yang diderita bisa sembuh total.

Tidak hanya obat. Rontgen tiga bulan sekali harus dilakukannya. Gunanya mengetahui hasil dari minum obat. Apakah ada perubahan atau tidak dengan paru-parunya. Tiga bulan pertama belum begitu ada perubahan.

Tiga bulan selanjutnya, perubahan terlihat. Hasil rontgen, paru-parunya terlihat tertutup. Nafas tidak terasa sesak, dampak positif lainnya. Itu dirasakan sejak enam bulan keluar dari rumah sakit.

Merasa trauma dengan sakit. Rutin minum obat dan tidak merokok merupakan salah satu obat ampuh dan mujarab. Kebiasaan minum kopi setiap hari ikut dihentikan. Hanya sesekali minum teh, itu tidak rutin.

Pria kelahiran tahun 1957 ini tidak terpengaruh lagi dengan rokok. Saat sedang menghadiri acara pernikahan, syukuran atau sedang berbincang-bincang dengan rekan-rekannya, misalnya. Tidak menghisap batang rokok.

"Obat harus di minum secara rutin. Kalau sehari berhenti, harus mengulang dari pertama. Saya sudah berhenti merokok selama 11 tahun. Tidak mau merokok karena trauma masuk rumah sakit karena rokok," sampai Dani, sembari berjalan ke kamar pribadinya untuk mencari hasil rontgen.

Selama 11 tahun berhenti merokok suami Tri Murti ini merasa lebih sehat. Berat badan bertambah. Naik 19 kilogram. Dari 40 kg menjadi 59 kg. Ukuran celana dari 27 menjadi 32. Selama perawatan di rumah sakit, biaya ditanggung sepenuhnya BPJS Kesehatan. Begitu obat-obatan yang dikonsumsi rutin.

"Makan obat itu secara rutin nafsu makan menjadi bertambah. Berat badan naik. Begitu juga dengan ukuran celana," kata Dani dengan logat khas Palembang.

Batita Tak Berdosa Jadi Korban Asap Rokok

Rokok bukan hanya menggangu kesehatan perokok aktif. Asap rokok juga membuat gangguan kesehatan, perokok pasif. Raffa Satria Pratama, satu dari perokok pasif. Terdampak "keganasan" asap rokok. Bayi Tiga Tahun (Batita), berusia 1 tahun 4 bulan ini menderita sakit infeksi di paru-paru dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).

Adzan salat Isya, baru saja dikumandangkan. Kota Bengkulu, di guyur hujan dengan intensitas ringan, pada malam itu. Sejuk suasananya. Tak lama hujan membasahi tanah kota ini. Termasuk di Kelurahan Pasar Bengkulu Kecamatan Sungai Serut. Belakang tembok sekolah, SMPN 7 persisnya.

Di samping sekolah ada gang. Hanya bisa dilewati satu kendaraan roda empat. Bangunan rumah permanen berdiri kokoh disepanjang lorong itu. Ada sebuah rumah sederhana dihuni keluarga pasangan suami istri (Pasutri), Ahmad Toyib dan Okti Irmanita.

Sekira 100 meter dari simpang sekolah. Aspal jalan di lorong itu belum kering, kena hujan. Tidak banyak kendaraan melintas. Hanya sesekali, sepi. Hawa udara pun dingin. Sisa-sisa hujan. Sehingga penghuni rumah di daerah tersebut. Memilih di dalam rumah.

Rumah berkonsep sederhana ditinggali Okti Irmanita, ibunda Raffa Satria Pratama. Bayi tiga tahun (Batita) itu sempat jatuh sakit. Asap rokok, salah satu penyebab penyakitnya. Korban dari kepulan asap yang dikeluarkan dari mulut, ayah dan kakeknya.

Malam itu batita kelahiran Bengkulu, 20 Agustus 2016, sudah tidur di kamar. Cukup lama. Di depan kamarnya ada ruang tamu. Kursi tamu tersusun horizontal. Mejanya di samping. Ibunda, Raffa masih didalam kamar, kala itu.

 Saffa Satria Pratama jadi korban asap rokok (Foto: Demon/Okezone)

Di depan kursi tamu ada juga satu unit sepeda motor jenis matic, milik Ibuda Raffa. Tak lama Okti keluar dari kamar, usai menemani anak pertamanya tidur. Suaminya masih bekerja. Okti langsung duduk santai di kursi tamu.

Raffa, sempat mengalami gangguan kesehatan. Anak semata wayang Okti, sakit. Infeksi pada paru, klaim dokter. Batita itu sempat di rawat satu minggu di rumah sakit Tiara Sella Bengkulu. Empat kilometer (KM) dari rumahnya.

Batita itu demam tinggi, mulanya. Bocah itu sempat ditangani tim medis di Klinik Sint Carolus Kota Bengkulu, saat itu. Oktober 2017, tepatnya. Dua hari kemudian kesehatan Raffa membaik.

Hari berganti hari. Begitu minggu berganti minggu. Anak pasutri ini kembali sakit, demam tinggi. Nafas Raffa, sesak. Dua minggu kemudian persisnya. November 2017, kira-kira. Khawatir, cemas dan panik menghantui ibunda, Raffa.

Raffa langsung dilarikan ke rumah sakit Tiara Sella. Respons cepat dari tim medis langsung diberikan. Infus, adalah langkah pertamanya. Di bagian paru-paru mengeluarkan cairan/lendir kotoran. Berkat usaha tim medis.

Ketika tidur, Raffa mengeluarkan suara. Seperti, susah bernafas. Anak Okti belum pernah mengalami hal itu sebelumnya. Satu minggu dirawat di rumah sakit, perubahan kesehaan Raffa sudah terlihat, membaik.

"Anak ibu menderita infeksi paru. Ini disebabkan asap rokok dan bisa juga debu," kata Ibunda Raffa, Okti, meniru ucapan dokter di rumah sakit Tiara Sella yang menangani anaknya.

Keluar dari rumah sakit, tidak seutuhnya pulih. Raffa musti minum obat secara rutin, 10 hari lamanya. Resep dokter. Obatnya, berbentuk puyer dan sirup. Empat macam. Keceriaan, Raffa kembali normal. Bermain dan berlarian, kebiasaannya.

Berat badan Raffa, berangsur naik. Dua kilogram (Kg). Ketika sakit turun 9 Kg. Sekarang normal, 11 Kg, berat badannya. Itu tidak lepas pengaruh dari asupan makanan dan Air Susu Ibu (ASI). Efek obat yang diminum rutin juga mempengaruhi.

Penyakit Raffa cepat diketahui. Sehingga, tidak minum obat sembilan bulan. Termasuk check-up kesehatan di rumah sakit.

"Saat ini kondisi Raffa sudah sehat. Sejak keluar dari rumah sakit penyakit Raffa tidak ada kambuh lagi, semoga saja tidak kambuh untuk seterusnya," sampai Okti, penuh harap.

"Panik lah. Anak pertama masuk rumah sakit, kerja pun harus izin selama satu minggu," sambung Okti, sembari mengenang.

Perempuan 30 tahun ini mengakui, jika suami dan kakek Raffa, perokok aktif dan menjadi pecandu berat. Ia tidak menapik gangguan kesehatan dialami anaknya, dari asap rokok. Setiap hari, Raffa tinggal di rumah. Diasuh kakek.

Efek buruk itu bukan hanya dari asap rokok. Dari bau asap rokok di pakaian. Baik dari pakaian suaminya maupun kakek, Raffa. Sejak kejadian itu, ayah Raffa dan kakek Raffa tidak merokok di dalam rumah. Menjauh dari Raffa.

"Ayah Raffa masih merokok. Begitu juga kakek Raffa. Saat mereka mau merokok selalu menjauh dari Raffa," terang perempuan kelahiran Bengkulu 27 Oktober 1987 ini.

Perawatan di rumah sakit, orangtua Raffa menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan dari tempat orangtuanya bekerja. Sehingga, biaya ditanggung sepenuhnya secara gratis. Begitu juga dengan obat yang diminum secara rutin oleh Raffa.

"Saya menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan. Semoga saja, penyakit anak saya ini tidak kembali kambuh," harap Okti.

Puluhan Ribu Masyarakat Terserang Penyakit

Tiga tahun terakhir (terhitung sejak 2015 hingga sekarang), sebanyak 67.507 warga di 10 kabupaten/kota Bengkulu, terserang penyakit tidak menular. Angka tersebut diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu. Puluhan ribu orang itu terserang penyakit. Salah satunya, merokok. Di mana menimbulkan 11 penyakit tidak menular.

Seperti, hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit diabetes melitus, kanker leher rahim, kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik, asma, osteoporosis, gagal ginjal kronik dan kecelakaan lalu lintas darat.

Pengelola Program Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular Masyarakat (P2M2) Dinkes Provinsi Bengkulu menghitung, di tahun 2015 masyarakat di 10 kabupaten/kota terserang 11 penyakit, sebanyak 25.619 orang.

Di 2016, dari jumlah 11 penyakit itu tercatat sepanjang tahun 2016 sebanyak 24.480 orang terserang penyakit tidak menular. Untuk 2017 periode Januari hingga Juni 2017, penyakit tidak menular tercatat diderita sebanyak 17.408 orang.

"Masyarakat yang terserang sebelas penyakit tidak menular, salah satunya disebabkan merokok dan asap rokok," kata Kepala Seksi (kasi) Pengamatan dan Pencehanan Penyakit (P3) Dinkes Provinsi Bengkulu, Reno Riyawan melalui Pengelola Program Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular Masyarakat (P2M2), Sutari.

BPJS Keluarkan Biaya Pelayanan Rp405,6 Miliar

Badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) Kesehatan cabang Bengkulu, menghitung biaya pelayanan kesehatan total tahun 2017 sebesar Rp405,6 miliar atau setera dengan Rp33,8 miliar per bulan.

Biaya itu di keluarkan untuk 847.639 peserta jaminan kesehatan nasional (JKN)–kartu indonesia sehat (KIS) di enam kabupaten/kota yang menggunakan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL).

Di mana besaran biaya tersebut didistribusikan ke 195 FKTP. Mulai dari puskesmas, dokter praktek, dokter praktek gigi, klinik Polri, klinik TNI, klinik pratama serta di distribusikan ke FKTL 15 rumah sakit, 4 apotek dan 8 optik.

Besaran biaya pelayanan kesehatan setiap tahun mengalami kenaikan. Tercatat, tahun 2015 BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp290,7 miliar untuk 682.398 peserta JKN–KIS, tahun 2016 sebesat Rp319,1 miliar untuk 809.159 peserta JKN-KIS.

"Pemanfaatan JKN-KIS semakin meningkat. Ini terlihat dari biaya pelayanan kesehatan yang di distribusikan ke FKTP dan FKTL," kata Kepala Cabang BPJS Bengkulu, Rizki Lestari.

Perempuan yang akrab disapa Kiki ini, menjelaskan BPJS menanggung seluruh penyakit yang di derita peserta JKN-KIS, termasuk 11 penyakit tidak menular yang salah satunya disebabkan merokok. Tidak termasuk pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas, kecelakaan tenaga kerja.

"Seluruh penyakit ditanggung. Terkecuali, kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan tenaga kerja," sampai Kiki.