Kita menyaksikannya dalam kasus Ukraina dan Rusia di era kontemporer yang dilihat sebagai difensif Ukraina yang meminta bantuan NATO cenderung dinilai ofensif dan memicu tindakan agresif Rusia.
Rusia merasa terganggu, itulah sebabnya Rusia meminta kepada NATO dalam hal ini AS (karena sulit memisahkan atau tepatnya membedakan NATO dengan AS) untuk menolak permintaan Ukraina tersebut. Gayung tak bersambut, permintaan itu ternyata ditolak mentah-mentah, Presiden Joe Biden secara tegas bahwa AS dan NATO akan bersama Ukraina karena aneksasi menurut pandangan politik AS merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional.
Sikap Presiden AS ke-46 itu dalam menanggapi konflik Ukraina versus Rusia memang kontras dengan Donald Trump, presiden AS sebelumnya. Trump cenderung pasif dan lebih sering menyuarakan tentang kekesalannya terhadap anggota NATO yang menyisihkan anggaran pemebelian senjata kurang tiga persen kepada AS sebagai produsen utama senjata dunia setelah Rusia dan China.
Baca juga: Pentagon: Jet Militer Rusia Menghadang 3 Pesawat Angkatan Laut AS di Atas Laut Mediterania
Baru-baru ini, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev dalam sebuah wawancara resmi dengan media Rusia, mengatakan Ukraina kini telah berubah menjadi mainan di tangan NATO dan AS. Medvedev mengatakan bahwa Ukraina telah digunakan sebagai instrumen tekanan geopolitik di Rusia dan China. Rusia memang gencar menuding bahwa Ukraina telah termakan oleh provokasi AS dan sekutunya yang tergabung dalam NATO.
Baca juga: Wall Street Anjlok, Investor Tinggalkan Saham akibat Konflik Rusia-Ukraina
Bagi Rusia, tak masuk akal jika pihaknya harus menarik mundur pasukannya di perbatasan dengan Ukraina, sementara tentara NATO lengkap dengan persenjataan tempur justru bercokol di sana bahkan jumlahnya terus bertambah. Lebih dari 170 ribu personil tentara Rusia lengkap dengan senja tempur sudah disiagakan di perbatasan Rusia dengan Ukraina.
Di kubu lawan, lebih dari 100 ribu personil tentara Ukraina juga bersiap dengan kekuatan penuh. Jumlahnya bahkan masih terus bertambah seiring dengan kiriman tidak kurang dari 3000 pasukan NATO dan AS ke wilayah Eropa Timur tersebut.